Halo Desember

Gambar
  Baru saja selesai mencicil pekerjaan. Lumayan lega rasanya meskipun masih belum selesai semuanya setidaknya bisa mengurangi. Tentu aku tidak akan menceritakan mengenai pekerjaanku. Tepat, sekarang pukul 00.00 masuk bulan Desember. Detik ini mulai dengan 1 Desember 2021. Sebelum aku menulis kesana kemari, aku hanya ingin mengucap syukur atas apa yang sudah berani aku jalani, terlewati. Ya, meskipun masih terasa sakit rasanya luka ini tapi setidaknya ia mampu bersahabat dengan waktu untuk terus berjalan, melanjutkan hidup. Terima kasih, luka, sudah menemaniku sejauh ini. Terima kasih waktu sudah mengizinkanku untuk merasakannya. Terima kasih untuk diri sendiri meskipun aku tahu perihnya saat ini yang masih harus aku tanggung tapiiiii semua akan berlalu. Mungkin besok saat aku bangun tidur? Atau lusa saat aku pulang ke ruang sepi? Minggu depan? Bulan depan, saat lantunan piano Holy Night mulai sering terdengar? Tahun depan? Tahun depannya lagi? Entahlah, kapanpun itu, silakan atur saja

Jurnal Peter

Catatan ini aku mulai pukul 21.30 ketika bulan tergantung tenang di langit. Dari seberang jendela kamar udara dingin menyelimuti alam, kuyu seperti malam. Besok libur kerja tapi masih terjebak dalam kegelisahan untuk mengatur bagaimana berdiskusi dengan waktu.

sementara kegelisahan terus berlanjut, mari biarkan tangan ini menekan tombol papan ketik dengan sesuka hati. Beberapa minggu ini dalam lingkungan kerja sering terjadi perdebatan yang sepele namun cukup intens.  

Aku berusaha memetakan bagaimana pola emosi dari beberapa sudut pandang itu muncul. Sebenarnya menjadi hal yang lumrah terjadi pada hampir setiap tempat kerja terjadi perselisihan. Namun, bagiku ini menjadi hal yang cukup menarik untuk dipahami. 

Ketika seseorang yang merasa dalam posisi lemah dan tidak mampu untuk banyak mengubah keadaan lingkungan, maka ada semacam, meminjam istilah Freud, mekanisme defensif atau defense mechanism.

Defense mechanism bisa dimengerti sebagai pola reaksi tak sadar yang dipekerjakan oleh ego untuk melindungi diri dari kecemasan yang timbul dari konflik psikis. Seseorang yang berada dalam mekanisme seperti ini berusaha mendistorsi kenyataan: upaya penyangkalan realitas atau meniadakan kenyataan.

Dalam kadar penggunaan yang wajar, mekanisme ini masih dianggap normal sebagai bentuk pertahanan dalam kehidupan sehari-hari termasuk pemblokiran ancaman eksternal. Akan tetapi dalam penggunaan yang berlebihan mekanisme ini dianggap patologis atau mekanisme pelarian. Misalnya mengambil sikap berpindah atau melakukan represi.

Aku ambil satu batang rokok mild, aku bakar. Sementara tulisan ini aku biarkan sejenak. Aku keluar kamar kosan sebab aku tak mau asap rokok mengepul penat di dalam kamar kos. Lagian, aku juga memang sedang ingin merokok di tempat biasa, di depan jendela kamar kosan sambil merasakan udara dingin malam.

Ternyata bulan sudah tidak ada dalam jangkauan pandangan mata. Barangkali ia juga merasa lelah dan beristirahat. Tapi udara semakin dingin dan langit tampak murung. Bisa jadi pada tengah malam langit akan menangis, menumpahkan air hujan dan jatuh tepat di depan halaman kosan. Barangkali ia sengaja untuk mendistorsi ingatanku akan hujan di malam hari.

Mari aku lanjutkan catatan di atas. Tentang penyangkalan kenyataan. Dalam pengertian-pengertian di atas, pendapatku sendiri adalah bahwa dengan begitu seseorang sedang berada dalam pertandingan untuk mendominasi atau sekurang-kurangnya mempertahankan keberadaannya melalui mekanisme defensif.

Hanya saja yang menjadi sedikit mengusik pikiran adalah upaya degradasi moral. Ketika sebuah tindakan yang awalnya tidak terjadi perselisihan bisa aku pahami dengan baik karena masih rasional. Namun, ketika terjadi tegangan psikis, dorongan mekanisme defensif terjadi secara berlebihan, orang tersebut akan melakukan upaya ‘rasionalisasi’ tindakannya. Dorongan ini dilakukan dengan mendistorsi kenyataan atau melakukan upaya penyangkalan kenyataan. Leila Chudori dalam Laut Bercerita menuliskan sebagai berikut: logika apapun akan digunakan untuk menghidupkan penyangkalannya.

Memikirkan ini jadi ikut merenungkan dengan pertanyaan bagaimana jika pada akhirnya aku juga suatu saat nanti melakukan penyangkalan hanya untuk memenuhi ego diri sedangkan di sana ada orang yang tidak seharusnya mendapatkan tanggung jawab untuk perkara yang harus aku hadapi.

Tiba-tiba rasa lapar menyerang. Sepertinya aku harus masak mie instan sebagai upaya menghadapi kenyataan. Hehehe 


Jakarta, 19 Oktober 2021

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bentuk Kekerasan Atas Nama Agama (Terorisme) dan Upaya Rekonsiliasi

Halo Desember

Seni Memahami: Hermeneutik Schleiermacher dan Dilthey (1)