Halo Desember

Gambar
  Baru saja selesai mencicil pekerjaan. Lumayan lega rasanya meskipun masih belum selesai semuanya setidaknya bisa mengurangi. Tentu aku tidak akan menceritakan mengenai pekerjaanku. Tepat, sekarang pukul 00.00 masuk bulan Desember. Detik ini mulai dengan 1 Desember 2021. Sebelum aku menulis kesana kemari, aku hanya ingin mengucap syukur atas apa yang sudah berani aku jalani, terlewati. Ya, meskipun masih terasa sakit rasanya luka ini tapi setidaknya ia mampu bersahabat dengan waktu untuk terus berjalan, melanjutkan hidup. Terima kasih, luka, sudah menemaniku sejauh ini. Terima kasih waktu sudah mengizinkanku untuk merasakannya. Terima kasih untuk diri sendiri meskipun aku tahu perihnya saat ini yang masih harus aku tanggung tapiiiii semua akan berlalu. Mungkin besok saat aku bangun tidur? Atau lusa saat aku pulang ke ruang sepi? Minggu depan? Bulan depan, saat lantunan piano Holy Night mulai sering terdengar? Tahun depan? Tahun depannya lagi? Entahlah, kapanpun itu, silakan atur saja

Bentuk Kekerasan Atas Nama Agama (Terorisme) dan Upaya Rekonsiliasi


Sumber: Dokumen pribadi

Pendahuluan
Dewasa ini masalah kekerasan atas nama agama telah menjadi salah satu wacana dan problem yang sangat provokatif, sensitif, dan menakutkan masyarakat. Sebagai sebuah wacana, kekerasan atas nama agama diperbincangkan dan dianalisis secara ilmiah dari perlbagai perspektif ilmu yang kompeten, termasuk dalam kajian terorisme. Dalam ruang publik, wacana ini diberitakan dengan gencar oleh pemberitaan media, entah cetak, elektronik, maupun media daring, dengan menampilkan tayangan berita dan gambar-gambar kekerasan yang dilakukan secara sadis oleh para pelaku. Meski demikian, akhir-akhir ini terjadi kekerasan-kekerasan yang dilakukan dengan melibatkan alasan-alasan religius atau kekerasan – jika kita boleh menyebutnya – atas nama Tuhan. Istilah “kekerasan atas nama Tuhan” menjelaskan aspek justifikasi dari tipe kekerasan ini. Kekerasan -  termasuk kekerasan atas nama agama – semestinya selalu dipandang sebagai sesuatu yang tidak berwajah tunggal. Ia banyak muka. Kekerasan tidak semata-mata perkara doktrin. Faktornya lebih luas dari itu: ekonomi, politik, hukum, keamanan, dan lain-lain ini adalah upaya untuk membersihkan agama dari kesalahan dan untuk mengatakan bahwa tidak ada motif religius untuk melakukan kekerasan.

Kekerasan yang berkaitan dengan agama ini tentu bukan tipe yang sama sekali baru dalam sejarah peradaban, karena perang-perang agama di masa silam, seperti perang Salib dan Perang Tiga Puluh Tahun di Eropa juga termasuk dalam tipe ini. Termasuk perkembangan konsep terorisme, meskipun motivasi untuk melakukan aksi terorisme bisa berbeda-beda sepanjang sejarah namun kesamaannya terletak dalam penggunaan kekerasan baik terhadap pejabat resmi pemerintah yang dimusuhi atau kepada penduduk sipil dengan maksud untuk menimbulkan kepanikan dan menarik perhatian publik terhadap tuntutan politik yang ingin diperjuangkan oleh kelompok  yang melakukan aksi terorisme  tersebut. Salah satu bukti paling nyata dari ketakutan masyarakat dunia  terhadap terorisme adalah serangan mematikan dari kelompok teroris Al-Qaeda pimpinan Osama bin Laden terhadap Menara Kembar, yang menjadi pusat bisnis dan politik  Amerika Serikat, dan Pentagon di Washington DC, yang menjadi pusat militer Amerika Serikat, pada tanggal 9 September 2001. Pasca 9/11 kasusnya merentang, bom-bom di Bali 2002, serangan jalur Kereta Api bawah tanah di London 2005, serangan teroris New Delhi 2005, dan Mumbai 2006, Jakarta, aksi-aksi teror ISIS di berbagai kota di berbagai negara sampai pembakaran-pembakaran gereja, perusakan makam-makam dan persekusi terhadap umat yang beragama lain. 

        Terorisme global merupakan sebuah bagian dari tindakan penolakan fundamentalisme agama terhadap proyek modernitas. Kaum fundamentalis menggunakan sebuah cara berpikir khusus, tingkah laku keras kepala yang bersandar pada implikasi politis dari pandangan-pandangan dan rasionalisasi mereka sendiri, bahkan ketika jauh sama sekali untuk dapat diterima secara rasional. Haruslah dikatakan bahwa fundamentalisme agama bukanlah sebuah ekstrimisme yang hanya ditemukan di wilayah-wilayah Islam. Terdapat berbagai gerakan kaum fundamentalis di hampir, jika tidak semua, seluruh wilayah di dunia, termasuk Indonesia. Fundamentalisme agama hadir dalam sebuah masyarakat yang tidak pernah terbuka terhadap tradisi demokrasi. Masyarakat yang demikian susah ditekan untuk menerima kompleksitas yang dibawa oleh modernitas.

Klasifikasi Kekerasan
Fenomena kekerasan global yang begitu luas dan kompleks membawa kita pada analisis konseptual atas kekerasan, termasuk perkembangan konsep terorisme. Dalam diskursus politik dunia konsep terorisme diartikan secara berbeda-beda, tergantung pada siapa yang mendefinisikannya. Hal itu bisa dimengerti karena isu terorisme merupakan isu yang telah membangkitkan kontroversi serta mencakup dimensi yang sangat luas. Bila kita mencermati lebih dekat,  kekerasan juga mengandung dimensi normatif karena melibatkan pembenaran atas tindakan tersebut. Karena itu agak sulit untuk mendapatkan analisis yang benar-benar obyektif tentang isu ini. Setiap diskursus tentang fenomena terorisme secara implisit maupun eksplisit merepresentasikan pandangan atau kepentingan politik tertentu sehingga obyektifitas ilmiah agak terabaikan. Kekerasan yang dilakukan oleh manusia selalu melibatkan motif dan kesadarannya, maka juga diliputi pembenaran-pembenaran. Ada dimensi moral dalam penggunaan kekerasan, maka kekerasan tidaklah value-free, melainkan value-laden.[1]

Menurut Johann Galtung[2] dalam analisisnya yang berjudul “Cultural Violence” klasifikasi kekerasan di mulai dengan mengelompokan kekerasan ke dalam dua jenis, yaitu: kekerasan langsung (direct violence) dan kekerasan struktural (structural violence). Kekerasan langsung karena terjadi langsung dari pelaku ke korbannya, sementara kekerasan struktural terjadi dengan mediasi organisasi, sistem, atau struktur sosial yang berciri impersonal.

Dari penjelasan singkat di atas, maka gambaran kekerasan dapat kita rinci sebagai berikut. [1] Bentuk pertama, membunuh, adalah tindak kekerasan langsung yang paling umum dan terjadi dalam skala kecil, yakni dari individu terhadap individu, sampai pada skala besar dalam bentuk genosida, pembantaian, perang, serangan teror dst. [2] Bentuk kedua, membuat cacat, blokade, sanksi, penyengsaraan, ini adalah kekerasan langsung  yang terjadi bila akses seseorang atau kelompok orang kepada sumber makanan, keamanan, kesehatan dan seterusnya ditutup sehingga terjadi malnutrisi atau penyebaran penyakit. [3] Gangguan dalam kebutuhan akan makna dan identitas juga menghasilkan kekerasan langsung. Hal ini terjadi atau dalam bentuk desosialisasi ataupun resosialisasi. Keduanya adalah bentuk kekerasan yang terjadi dalam hubungan dengan kebutuhan akan identitas. [4] Jika kebutuhan yang dihambat, terjadilah kekerasan langsung seperti penindasan, penahanan ataupun pengusiran. Misalnya, membiarkan kelompok minoritas dipersekusi dan terpaksa bermigrasi sebagai pengungsi, menyandera seseorang atau lebih, memenjarakan seseorang dan seterusnya.

Galtung menjelaskan kekerasan struktural sebagai kekerasan yang melekat pada struktur-struktur interaksi sosial, pada bahasa, pada diskursus yang dalam istilah Jurgen Habermas adalah “komunikasi yang terdistorsi secara sistematis”. Bayangkan negara Indonesia yang begitu besar yang terdiri dari begitu banyak kepulauan dan dihubungkan dengan perairan. Jika masyarakat Indonesia yang kosmopolitan pada pusat pemerintahan mendapat begitu banyak akses kemudahan dalam perkembangan bermasyarakat, sementara masyarakat yang berada pada titik terluar, terdepan, dan terpinggirkan, Papua misalnya, sangat sedikit sekali mendapatkan kemudahan seperti masyarakat kosmopolitan, keadaan itulah yang disebut kekerasan struktural yang dalam kosa kata etika disebut ketidakadilan sosial. [5] Jika para anggota kelas-kelas bawah masyarakat sangat dirugikan oleh struktur yang menindas itu sampai mereka mati kelaparan atau mengidap penyakit yang mematikan, kekerasan struktural itu disebut eksploitasi tingkat pertama, dan jika akibatnya adalah kemiskinan, kekurangan gizi, kelumpuhan, epidemi dan seterusnya ini disebut eksploitasi tingkat kedua. Tentu saja kekerasan kultural, seperti ideologi atau agama, lalu dapat membenarkan eksploitasi-eksploitasi itu, misalnya dengan mendasarkan pada krisis ekonomi atau mengkhotbahkan hukuman Tuhan sedemikian sehingga eksploitasi itu tampak wajar atau tidak tampak sama sekali sebagai eksploitasi.

Kekerasan dengan motif dan justifikasi religius adalah proses memaknai aksi-aksi kekerasan, seperti menghancurkan menara kembar WTC, bom-bom bunuh diri  dan juga kekerasan massa, seperti pembakaran rumah ibadat dan persekusi minoritas agama, sebagai pembelaan kemurnian dan autentisitas identitas religius. Alex Schmid (2014: 14) membedakan antara (1) “non-violence” dan (2) “not-violent”.[3] Non-violence itu bukan semata-mata metode nirkekerasan, tapi menjadi semacam prinsip perjuangan damai, seperti yang dilakukan Mahatma Gandhi atau Martin Luther King. Metode non-violence ala Gandi atau Martin ini tidak bersifat oportunis, taktikal, atau tergantung situasi dan kondisi. Tidak seperti Hizbut Tahrir yang menolak metode kekerasan, tapi membolehkan penggunaan kekarasan saat mendapat momentum untuk mengambil alih kekuasaan. Jika ada kelompok yang tidak memakai kekerasan, tapi melakukan justifikasi atau pembenaran atas kekerasan yang dilakukan orang lain, atau bahkan bersedia melakukan kekerasan jika ada kesempatan (willingness), maka mereka tidak bisa dikategorikan sebagai non-violence, tapi lebih tepat disebut not-now-violent.
Secara umum, ekstrimisme dalam Islam memiliki dua dimensi: thariqah (metode perjuangan, manhaj) dan fikrah (ideologi). Ronald Wibtrope (2006: 84) membedakan ekstrimisme menjadi tiga jenis: pertama, metode perjuangannya ekstrim tapi ideologi (fikrah) tidak ekstrim, kedua, secara ideologis dan metodenya ekstrim; dan ketiga, tujuannya ekstrim tapi ditempuh dengan metode yang tidak ekstrim. Karena sulitnya mendefiniskan ekstrimisme dan fakta bahwa istilah ekstrimisme ini seringkali dipertukarkan dengan fundamentalisme atau radikalisme maka kita perlu memahami apa yang dimaksud dengan ekstrimisme. Karena pada dasarnya manusia mempunyai sifat untuk menilai kelompok sosialnya, akibatnya ada ekstrimis yang tidak suka dikelompokkan sebagai “ekstrimis”, dan malah menilai kelompok lain sebagai “ekstrimis”. Pemimpin Al-Qaeda, Ayman al-Zawahiri, misalnya, menyatakan tidak sudi mendukung ISIS karena dianggap “terlalu ekstrim”.[4]


Sikap Aktif Tanpa Kekerasan
Bentuk-bentuk kekerasan yang terjadi di masyarakat dewasa ini begitu intim. Hal ini bisa kita temukan dalam kelompok sosial terkecil sampai dengan kelompok yang lebih luas yang tersusun secara sistematis dan terstruktur. Baik kekerasan secara langsung maupun struktural. Kita bisa mulai dari mana saja. Dari rumah sampai sekolah, dari ranjang sampai negara, dari night clubs sampai tempat-tempat ibadah kita menghirup aroma kekerasan. Sebagai contoh sederhana kekerasan perundungan (bullying) yang terjadi di sekolah, misalnya. Pemahaman singkat bahwa pelaku adalah yang paling bersalah dalam memulai rantai kekerasan hanyalah separuh kebenaran. Tanpa disadari bahwa para penonton dan juga korban juga ikut andil dalam peristiwa kekerasan dengan sikap pengecutnya. Jika yang terjadi demikian maka kita mengalami defisit civil courage. Padahal untuk memutuskan rantai kekerasan civil courage merupakan syarat bagi non-violent action.

Kita bisa menjadi civil courage, bila salah seorang atau lebih meninggalkan posisi penonton dan mulai mengintervensi kejadian dan menyatakan ketidaksetujuannya terhadap kekerasan yang terjadi di sekitar kita secara publik. Seperti yang dilakukan oleh Martin Luther King Jr., Gandhi, Munir dan sebagianya. Kemudian, sikap individu yang aktif tanpa kekerasan, entah itu sebagai anggota keluarga, umat, sekolah, birokrasi dan seterusnya harus dilatih untuk menyatakan perlawanan terhadap reproduksi kebencian dan penindasan di lingkungan dekatnya. Hal ini dilakukan untuk menumbuhkan komitmen suara hati atas ketidakadilan dan penindasan. Memupuk civil courage tidak bisa dilakukan dengan mobilisasi “massa”, karena jika demikian kita terjebak lagi dalam sikap pengecut dalam konformisme dan sikap pengecut para anggota gerombolan yang menindas minoritas.


Menjadi bagian lingkungan yang aktif turut serta mengambil tempat untuk mempersempit kemungkinan akar kekerasan menjadi semakin berkembang. Misalnya, secara tegas berani segera keluar dan meninggalkan tempat ibadah ketika mendengar ceramah oleh pemuka agama yang bernuansa radikal, provokatif dan diskriminatif. Sikap seperti ini perlu untuk menyatakan penolakan terhadap potensi pemaparan paham-paham yang menyimpang dari nilai-nilai religiositas.

Yang perlu dipikirkan adalah mengubah masyarakat di mana ide terorisme itu muncul. Masyarakat yang dimaksud di sini bisa pada skala mikro dan bisa pula pada skala makro global. Pada skala mikro perlu dikembangkan pendekatan sosial kultural melalui pendidikan multikulturalisme. Dalam hal ini tugas pemerintah dan pemimpin agama adalah memberikan pencerahan kepada masyarakat agar tertanam kesadaran dalam hati setiap penganut agama untuk menggunakan cara-cara dialog dalam menyelesaikan perbedaan pendapat atau untuk mengatasi berbagai masalah sosial, ekonomi dan politik yang dihadapi.

Program deradikalisasi bagi narapidana kasus terorisme di lembaga pemasyarakatan yang lebih banyak menekankan pada re-edukasi idelogi negara atau wawasan kebangsaan dinilai tidak memberikan perubahan berarti dalam perubahan pola pikir narapidana terorisme dan karenanya harus dievaluasi. Kewirausahaan sebagai salah satu program deradikalisasi juga dinilai gagal jika diberikan tanpa persiapan dan rencana yang matang untuk mengangkat ekonomi mantan narapidana teroris. Pengembangan kapasitas dan perhatian terhadap para sipir di lembaga pemasyarakatan yang memiliki narapidana terorisme sangat diperlukan. Salah satunya untuk mencegah agar mereka tidak terpengaruh oleh ajaran radikalisme dan terorisme. Program deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) harus berjalan secara terintegrasi dengan kontraradikalisasi yaitu penguatan imunitas, bagaimana masyarakat, seluruh komponen bangsa, tidak terpengaruh oleh paham radikal yang mengatasnamakan agama, karena semua agama tidak ada yang mengajarkan anarkisme dan tidak ada kaitannya agama dengan teroris.


[1] Lih. F. Budi hardiman, Demokrasi dan Sentimentalitas: Dari “Bangsa Setan-setan”, Radikalisme Agama, sampai Post-Sekularisme, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2018, hlm. 127
[2] Konsep Kekerasan dari Johann Galtung yang melingkupi kekerasan struktural, kekerasan langsung, dan kekerasan kultural penting untuk mengidentifikasi sumber kekerasan beserta dampaknya, sehingga memungkinkan untuk mencari solusi yang lebih komprehensif.
[3] Lih. Burhanuddin Muhtadi, Populisme Politik Identitas dan Dinamika Elektoral: Mengurai Jalan Panjang Demokrasi Prosedural, Intrans Publishing, Malang, 2019, hlm. 54
[4] Ibid, hlm. 55

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Halo Desember

Seni Memahami: Hermeneutik Schleiermacher dan Dilthey (1)