Dari
penjelasan singkat di atas, maka gambaran kekerasan dapat kita rinci sebagai
berikut. [1] Bentuk pertama, membunuh, adalah tindak kekerasan langsung yang
paling umum dan terjadi dalam skala kecil, yakni dari individu terhadap
individu, sampai pada skala besar dalam bentuk genosida, pembantaian, perang,
serangan teror dst. [2] Bentuk kedua, membuat cacat, blokade, sanksi,
penyengsaraan, ini adalah kekerasan langsung
yang terjadi bila akses seseorang atau kelompok orang kepada sumber
makanan, keamanan, kesehatan dan seterusnya ditutup sehingga terjadi malnutrisi
atau penyebaran penyakit. [3] Gangguan dalam kebutuhan akan makna dan identitas
juga menghasilkan kekerasan langsung. Hal ini terjadi atau dalam bentuk
desosialisasi ataupun resosialisasi. Keduanya adalah bentuk kekerasan yang
terjadi dalam hubungan dengan kebutuhan akan identitas. [4] Jika kebutuhan yang
dihambat, terjadilah kekerasan langsung seperti penindasan, penahanan ataupun
pengusiran. Misalnya, membiarkan kelompok minoritas dipersekusi dan terpaksa
bermigrasi sebagai pengungsi, menyandera seseorang atau lebih, memenjarakan
seseorang dan seterusnya.
Galtung
menjelaskan kekerasan struktural sebagai kekerasan yang melekat pada
struktur-struktur interaksi sosial, pada bahasa, pada diskursus yang dalam
istilah Jurgen Habermas adalah “komunikasi yang terdistorsi secara sistematis”.
Bayangkan negara Indonesia yang begitu besar yang terdiri dari begitu banyak
kepulauan dan dihubungkan dengan perairan. Jika masyarakat Indonesia yang
kosmopolitan pada pusat pemerintahan mendapat begitu banyak akses kemudahan
dalam perkembangan bermasyarakat, sementara masyarakat yang berada pada titik
terluar, terdepan, dan terpinggirkan, Papua misalnya, sangat sedikit sekali
mendapatkan kemudahan seperti masyarakat kosmopolitan, keadaan itulah yang
disebut kekerasan struktural yang dalam kosa kata etika disebut ketidakadilan
sosial. [5] Jika para anggota kelas-kelas bawah masyarakat sangat dirugikan
oleh struktur yang menindas itu sampai mereka mati kelaparan atau mengidap
penyakit yang mematikan, kekerasan struktural itu disebut eksploitasi tingkat
pertama, dan jika akibatnya adalah kemiskinan, kekurangan gizi, kelumpuhan,
epidemi dan seterusnya ini disebut eksploitasi tingkat kedua. Tentu saja kekerasan
kultural, seperti ideologi atau agama, lalu dapat membenarkan
eksploitasi-eksploitasi itu, misalnya dengan mendasarkan pada krisis ekonomi atau
mengkhotbahkan hukuman Tuhan sedemikian sehingga eksploitasi itu tampak wajar
atau tidak tampak sama sekali sebagai eksploitasi.
Kekerasan
dengan motif dan justifikasi religius adalah proses memaknai aksi-aksi
kekerasan, seperti menghancurkan menara kembar WTC, bom-bom bunuh diri dan juga kekerasan massa, seperti pembakaran
rumah ibadat dan persekusi minoritas agama, sebagai pembelaan kemurnian dan
autentisitas identitas religius. Alex Schmid (2014: 14) membedakan antara (1) “non-violence” dan (2) “not-violent”.
Non-violence itu bukan semata-mata
metode nirkekerasan, tapi menjadi semacam prinsip perjuangan damai, seperti
yang dilakukan Mahatma Gandhi atau Martin Luther King. Metode non-violence ala Gandi atau Martin ini
tidak bersifat oportunis, taktikal, atau tergantung situasi dan kondisi. Tidak
seperti Hizbut Tahrir yang menolak metode kekerasan, tapi membolehkan
penggunaan kekarasan saat mendapat momentum untuk mengambil alih kekuasaan.
Jika ada kelompok yang tidak memakai kekerasan, tapi melakukan justifikasi atau
pembenaran atas kekerasan yang dilakukan orang lain, atau bahkan bersedia
melakukan kekerasan jika ada kesempatan (willingness),
maka mereka tidak bisa dikategorikan sebagai non-violence, tapi lebih tepat disebut not-now-violent.
Secara
umum, ekstrimisme dalam Islam memiliki dua dimensi: thariqah (metode perjuangan, manhaj)
dan fikrah (ideologi). Ronald
Wibtrope (2006: 84) membedakan ekstrimisme menjadi tiga jenis: pertama, metode perjuangannya
ekstrim tapi ideologi (fikrah) tidak
ekstrim, kedua, secara ideologis dan metodenya ekstrim; dan ketiga, tujuannya
ekstrim tapi ditempuh dengan metode yang tidak ekstrim. Karena sulitnya
mendefiniskan ekstrimisme dan fakta bahwa istilah ekstrimisme ini seringkali
dipertukarkan dengan fundamentalisme atau radikalisme maka kita perlu memahami
apa yang dimaksud dengan ekstrimisme. Karena pada dasarnya manusia mempunyai
sifat untuk menilai kelompok sosialnya, akibatnya ada ekstrimis yang tidak suka
dikelompokkan sebagai “ekstrimis”, dan malah menilai kelompok lain sebagai
“ekstrimis”. Pemimpin Al-Qaeda, Ayman al-Zawahiri, misalnya, menyatakan tidak
sudi mendukung ISIS karena dianggap “terlalu ekstrim”.
Sikap Aktif Tanpa Kekerasan
Bentuk-bentuk
kekerasan yang terjadi di masyarakat dewasa ini begitu intim. Hal ini bisa kita
temukan dalam kelompok sosial terkecil sampai dengan kelompok yang lebih luas
yang tersusun secara sistematis dan terstruktur. Baik kekerasan secara langsung
maupun struktural. Kita bisa mulai dari mana saja. Dari rumah sampai sekolah,
dari ranjang sampai negara, dari night
clubs sampai tempat-tempat ibadah kita menghirup aroma kekerasan. Sebagai
contoh sederhana kekerasan perundungan (bullying)
yang terjadi di sekolah, misalnya. Pemahaman singkat bahwa pelaku adalah yang
paling bersalah dalam memulai rantai kekerasan hanyalah separuh kebenaran.
Tanpa disadari bahwa para penonton dan juga korban juga ikut andil dalam
peristiwa kekerasan dengan sikap pengecutnya. Jika yang terjadi demikian maka
kita mengalami defisit civil courage.
Padahal untuk memutuskan rantai kekerasan civil
courage merupakan syarat bagi non-violent
action.
Kita
bisa menjadi civil courage, bila
salah seorang atau lebih meninggalkan posisi penonton dan mulai mengintervensi
kejadian dan menyatakan ketidaksetujuannya terhadap kekerasan yang terjadi di
sekitar kita secara publik. Seperti yang dilakukan oleh Martin Luther King Jr.,
Gandhi, Munir dan sebagianya. Kemudian, sikap individu yang aktif tanpa
kekerasan, entah itu sebagai anggota keluarga, umat, sekolah, birokrasi dan
seterusnya harus dilatih untuk menyatakan perlawanan terhadap reproduksi
kebencian dan penindasan di lingkungan dekatnya. Hal ini dilakukan untuk
menumbuhkan komitmen suara hati atas ketidakadilan dan penindasan. Memupuk
civil courage tidak bisa dilakukan dengan mobilisasi “massa”, karena jika
demikian kita terjebak lagi dalam sikap pengecut dalam konformisme dan sikap
pengecut para anggota gerombolan yang menindas minoritas.
Menjadi
bagian lingkungan yang aktif turut serta mengambil tempat untuk mempersempit
kemungkinan akar kekerasan menjadi semakin berkembang. Misalnya, secara tegas
berani segera keluar dan meninggalkan tempat ibadah ketika mendengar ceramah oleh
pemuka agama yang bernuansa radikal, provokatif dan diskriminatif. Sikap
seperti ini perlu untuk menyatakan penolakan terhadap potensi pemaparan
paham-paham yang menyimpang dari nilai-nilai religiositas.
Yang
perlu dipikirkan adalah mengubah masyarakat di mana ide terorisme itu muncul.
Masyarakat yang dimaksud di sini bisa pada skala mikro dan bisa pula pada skala
makro global. Pada skala mikro perlu dikembangkan pendekatan sosial kultural
melalui pendidikan multikulturalisme. Dalam hal ini tugas pemerintah dan
pemimpin agama adalah memberikan pencerahan kepada masyarakat agar tertanam
kesadaran dalam hati setiap penganut agama untuk menggunakan cara-cara dialog
dalam menyelesaikan perbedaan pendapat atau untuk mengatasi berbagai masalah
sosial, ekonomi dan politik yang dihadapi.
Program
deradikalisasi bagi narapidana kasus terorisme di lembaga pemasyarakatan yang
lebih banyak menekankan pada re-edukasi idelogi negara atau wawasan kebangsaan
dinilai tidak memberikan perubahan berarti dalam perubahan pola pikir
narapidana terorisme dan karenanya harus dievaluasi. Kewirausahaan sebagai
salah satu program deradikalisasi juga dinilai gagal jika diberikan tanpa
persiapan dan rencana yang matang untuk mengangkat ekonomi mantan narapidana
teroris. Pengembangan kapasitas dan perhatian terhadap para sipir di lembaga
pemasyarakatan yang memiliki narapidana terorisme sangat diperlukan. Salah satunya
untuk mencegah agar mereka tidak terpengaruh oleh ajaran radikalisme dan terorisme.
Program deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) harus
berjalan secara terintegrasi dengan kontraradikalisasi yaitu penguatan
imunitas, bagaimana masyarakat, seluruh komponen bangsa, tidak terpengaruh oleh
paham radikal yang mengatasnamakan agama, karena semua agama tidak ada yang
mengajarkan anarkisme dan tidak ada kaitannya agama dengan teroris.
Komentar
Posting Komentar