Halo Desember

Gambar
  Baru saja selesai mencicil pekerjaan. Lumayan lega rasanya meskipun masih belum selesai semuanya setidaknya bisa mengurangi. Tentu aku tidak akan menceritakan mengenai pekerjaanku. Tepat, sekarang pukul 00.00 masuk bulan Desember. Detik ini mulai dengan 1 Desember 2021. Sebelum aku menulis kesana kemari, aku hanya ingin mengucap syukur atas apa yang sudah berani aku jalani, terlewati. Ya, meskipun masih terasa sakit rasanya luka ini tapi setidaknya ia mampu bersahabat dengan waktu untuk terus berjalan, melanjutkan hidup. Terima kasih, luka, sudah menemaniku sejauh ini. Terima kasih waktu sudah mengizinkanku untuk merasakannya. Terima kasih untuk diri sendiri meskipun aku tahu perihnya saat ini yang masih harus aku tanggung tapiiiii semua akan berlalu. Mungkin besok saat aku bangun tidur? Atau lusa saat aku pulang ke ruang sepi? Minggu depan? Bulan depan, saat lantunan piano Holy Night mulai sering terdengar? Tahun depan? Tahun depannya lagi? Entahlah, kapanpun itu, silakan atur saja

EKONOMI POLITIK GLOBAL: CRITICAL REVIEW

Gambar: Pinterest
Pendahuluan
    Tulisan ini mengambil titik tolak dari empat artikel dengan judul yang berbeda sesuai dengan isi yang dijelaskan sebagai berikut; 1) Liberalism – Old and New karya William Ebenstein yang terdapat dalam buku Great Political Thinkers (1960). Buku ini adalah salah satu dari ratusan buku yang mengupas seputar liberalisme, ideologi yang telah mengalami “penyempurnaan” sekaligus kritik dari para ahli sosiologi dan politik di berbagai negara. Topik liberalisme ini dibahas Ebenstein di dalam Bagian Ke-22 dibawah judul Liberalism: Old and New. Di kalangan ilmuwan Indonesia, istilah “old and new” dalam konteks faham liberalisme yang digunakan Ebenstein juga sering diterjemahkan dengan istilah “klasik dan modern”; 2) The Cartel of Good Intentions karya William Easterly. Ketika Kartel itu sendiri dianggap sesuatu yang ditakuti oleh negara-negara karena memiliki sifat absolut dalam konteks sumber daya, namun bagaimana bila Kartel dengan tujuan kebaikan; 3) Think Again: Debt Relief karya William Easterly. Ketika debt relief ini bukanlah jalan keluar dari kemiskinan bahkan bisa memperburuk kondisi kemiskinan suatu negara; 4) How to Help Poor Countries karya Nancy Birdsall, Dani Rodrik, dan Arvind Subramanian. Meningkatnya bantuan dan akses pasar untuk negara-negara miskin merupakan satu hal yang masuk akal tetapi tidak akan banyak membantu. Negara-negara kaya juga harus mendorong langkah-langkah lain yang bisa jauh lebih bermanfaat seperti memberi orang miskin kontrol lebih besar atas kebijakan ekonomi, membiayai pembangunan teknologi baru yang ramah, dan membuka pasar tenaga kerja.

***
Wiliiam Ebenstein, Liberalism – Old and New
       Dalam buku ini, Ebenstein menampilkan dua tokoh yang dianggap paling berpengaruh, yang masing-masing mewakili aliran pemikiran klasik dan modern. Kedua tokoh itu adalah Herbert Spencer (1820-1903) yang mewakili pemikiran liberalisme klasik dan John Maynard Keynes (1883-1946) yang mewakili aliran pemikiran liberalisme modern.
Warisan pemikiran penting Spencer yang pertama dipublikasikan dalam majalah Nonconformist pada awal tahun 1842, berupa serangkaian artikel berjudul The Proper Sphere of Government. Dalam bukunya ini Spencer menyatakan keyakinan pandangannya, bahwa segala sesuatu di alam ini memiliki hukum-hukumnya sendiri, dan manusia tunduk pada hukum alam itu. Hukum alam menciptakan “keadilannya” sendiri bagi kehidupan pelbagai makhluk di dunia. Jika seekor banteng yang sudah tua dan penyakitan, lalu diterkam harimau dan mati, ini adalah “keadilan” yang diberikan alam, dan karenanya tidak perlu disesali. Pada waktunya di kemudian hari nanti, si harimau perkasa itu pastilah juga akan mati. Cepat atau lambat kematian itu menjemputnya sangat bergantung pada kemampuannya menyesuaikan diri dengan alamnya (survival of the fittest). Karena itu, hidup dan mati bagi Spencer adalah kebutuhan alamiah, bukan suatu kecelakaan.
Dalam konteks evolusi tadi, Spencer hanya tertarik sedikit terhadap bentuk-bentuk pemerintahan yang dibedakan secara tradisional kedalam model monarki, aristokrasi dan demokrasi. Menurutnya, dalam kerangka teori evolusi ini ada 2 (dua) bentuk negara dan masyarakat: Negara Militer dan Negara Industri. Negara militer adalah bentuk awal dari organisasi sosial yang sifatnya masih primitif, barbar, dan selalu memiliki hasrat untuk berperang. Dan pemimpin militer memiliki posisi seperti pemimpin politik, yang didalamnya terdapat hubungan erat antara militeristik dengan tindakan kesewenang-wenangan. Individu dinilai tidak lebih dari sekadar alat untuk mencapai tujuan akhir negara, yaitu mencapai kemenangan dalam setiap peperangan.
Dalam bidang perekonomian, negara militer tunduk kepada kepentingan dan kebutuhan khas militer. Maka tujuan ekonomi sendiri tidak diarahkan pada bagaimana mencapai dan mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan rakyat banyak, melainkan sekadar diproyeksikan untuk tujuan-tujuan meningkatkan kekuatan militer demi keberhasilan dalam peperangan dan penaklukan-penaklukan negara lain seperti yang kemudian tampak pada fenomena kolonialisme dan imperialisme. Bahwa dalam negara militer, suatu hubungan sosial dan kerjasama diantara individu-individu atau kelompok-kelompok terjadi, hal ini lebih karena terpaksa atau dipaksakan oleh kekuasaan negara, bukan lahir atas pertimbangan dan kesadaran sukarela masyarakat. Dalam situasi dimana keamanan publik dianggap segala-galanya oleh kekuasaan, maka ruang kebebasan individu dalam negara militer menjadi sempit.
Keynes melihat ada yang keliru dalam faham laissez faire. Berikut ini adalah pokok-pokok pikirannya yang mengoreksi kekeliruan-kekeliruan liberalisme klasik itu.
Pertama sekali Keynes menegaskan bahwa untuk menolong sistem perekonomian negara-negara penganut liberalisme klasik dari kebangkrutannya karena krisis ekonomi pada tahun 1930an itu, bangsa-bangsa harus bersedia meninggalkan ideologi laissez faire yang murni. Artinya, prinsip membebaskan individu-individu dalam mengelola dan menjalankan kehidupan ekonominya tanpa melibatkan pemerintah harus dihentikan. Pemerintah harus melakukan campur tangan lebih banyak dalam mengendalikan perekonomian nasional.
Pijakan dasar konsep ekonomi-politik liberalisme baru sebagaimana digagas Keynes antara lain bermuara pada gagasan anti-naturalistik tentang pasar dan kompetisi. Keynes melihat dan memposisikan pasar sebagai salah satu dari berbagai macam model hubungan sosial bentukan manusia. Pasar bukanlah gejala alami. Oleh karena itu maka pasar sesungguhnya dapat diciptakan dan dibatalkan menurut desain kehendak manusia sendiri. Tidak ada ekonomi yang terpisah dari politik, sebagaimana juga tidak ada politik yang terlepas dari ekonomi, sehingga kinerja pasar juga membutuhkan adanya tindakan-tindakan politik yang bertugas menciptakan serangkaian prakondisi bagi operasinya agar adil namun tetap kompetitif.

William Easterly, The Cartel of Good Intentions
Pada bacaan artikel dijelaskan bahwa terdapat kartel dengan tujuan yang baik sesuai dengan judul “The Cartel of Good Intentions”. Good intention yang dimaksud ini adalah organisasi atau institusi bantuan internasional bagi negara-negara miskin. Organisasi bantuan ini menjadi bahasan dalam bacaan ini, karena menurut William Easterly organisasi asing ini cenderung bersifat monopoli kepada negara-negara miskin.
      Pertama-tama harus dipahami apa kartel itu sendiri dan bagaimana penerapannya pada yang sudah ada. Kartel itu sendiri merupakan suatu organisasi yang didalamnya beranggotakan pelaku-pelaku ekonomi yang memiliki sumber daya alam atau sumber daya yang lain. Tidak seperti organisasi pada umumnya, dalam kartel pemilik sumber daya tersebut mencapai suatu kesepakatan untuk menetapkan nilai sumber daya tersebut yang relatif tinggi. Hal ini dilakukan karena biasanya sumber daya tersebut bersifat langka, sehingga dalam kartel pun tidak perlu ada kompetisi. Maka dari itu, bila berdasarkan teks bacaan kartel memiliki perspektif kehadiran yang disegani atau ditakutkan oleh para pelanggan yang menggunakan sumber daya tersebut.
       Easterly kemudian menjelaskan bagaimana bila ada “The Cartel of Good Intentions” ini, yaitu penerapan konsep kartel pada institusi dan organisasi pemberi bantuan akan memiliki efek yang lebih baik. Sebab institusi dan organisasi yang memberi bantuan hanya fokus pada pencapaian yang dilakukan agar banyak negara mencari institusi atau organisasi tersebut dalam pencapaiannya memberi bantuan, tanpa memikirkan apa yang sebenarnya dibutuhkan negara tersebut. Sehingga terkadang ketika suatu negara sudah mendapat dana untuk investasi pada sektor yang dibutuhkan negara tersebut, negara tersebut tidak memiliki kemampuan untuk mempertahankan investasi tersebut. Maka dengan pembentukan kartel ini diharapkan ada suatu kerangka yang terbentuk oleh kerja-sama dari institusi dan organisasi tersebut.
Kata kuncinya adalah melakukan koordinasi dan tidak hanya pada institusi dan organisasi tersebut saja, tetapi juga kerja-sama antara penerima dana. Menemukan konsep baru dari bantuan itu sendiri tidak hanya bersifat material dalam hal ini seperti bantuan dana, melainkan juga bisa dalam bentuk yang lain juga. Penerima bantuan juga dapat memilih agen organisasi dalam menerima bantuan ataupun bekerja sama dengan, sehingga hal ini juga mengurangi persaingan itu sendiri pada organisasi pemberi bantuan.
Dari perspektif yang diberikan William Easterly, kami sepenuhnya setuju dengan pendapatnya. Sebab institusi dan organisasi yang memberi bantuan, bukanlah sesuatu yang seharusnya dikompetisikan. Sehingga perlu dibuat sebuah kerangka dari hasil koordinasi antara institusi-institusi dan organisasi-organisasi mengenai masalah tersebut berdasarkan kejadian empiris.
Kami berasumsi bahwa bila tidak ada kerangka berpikir yang dihasilkan dari koordinasi tersebut, maka organisasi yang memberi bantuan jauh dari nilai-nilai liberal. Sementara dalam liberal itu sendiri salah satu penegasannya adalah bahwa kerja sama dalam hubungan internasional. Khususnya untuk neoliberal, lebih spesifik bahwa untuk mencapai kerja sama yang ingin dicapai dari nilai-nilai liberal, kerja sama tersebut harus diinstitusikan lewat pembentukan institusi itu sendiri atau perjanjian.
Adapun pernyataan Willian Easterly yang kami juga sependapat yaitu, bahwa pemberi dana juga harus mengingat untuk tidak bersikap sombong atas dana yang diberikan, karena keberhasilan ataupun kegagalan yang dialami pada negara penerima bantuan harus dicapai oleh usaha negara itu sendiri. Mengingat kembali nilai liberal yang memiliki kebebasan, institusi harus kooperatif, tidak terlalu banyak intervensi, lebih memberi saran kepada penerima dana tersebut dan secara bebas memberikan kuasa pada penerima dana dalam melakukan langkah-langkah. Walau mungkin, kembali lagi ada kerangka dari perjanjian-perjanjian itu sendiri yang tidak boleh dilanggar dengan institusi atau organisasi pemberi bantuan tersebut. Secara keseluruhan yang terpenting adalah kerja sama dan koordinasi yang tepat dari aktor-aktor yang terlibat.

William Easterly, Think Again: Debt Relief
        Pada bacaan ini secara garis besar menjelaskan bagaimana “debt relief” atau pemutihan utang ini menjelaskan bahwa akan memperparah kondisi kemiskinan suatu negara. Terdapat gerakan “Jubilee 2000” dalam mempromosikan apa yang dinamakan dengan konsep debt relief. Akan tetapi berdasarkan teks bacaan, debt relief ini sudah pernah diterapkan sejak lama dalam berbagai bentuk. Seperti pada saat tahun 1980 sampai dengan 1990 terdapat usaha-usaha institusi internasional dari World Bank dan IMF melakukan perubahan kondisi suku bunga pada pinjaman yang diberikan, dan juga seperti grace period yang lebih lama. Namun, gerakan Jubilee 2000 yang dilakukan Bono dan kawan-kawan perlu diapresiasi, yang menempatkan masalah kemiskinan dalam agenda tersebut.
Dijelaskan berdasarkan bacaan bahwa dari latar belakang sejarah dalam penerapan debt relief ini tidak membuahkan hasil apa-apa bagi negara yang telah dilakukan debt relief. Memang secara empiris hal tersebut terjadi, tetapi tidak disangkal juga bahwa usaha dalam melakukan debt relief ini juga meringankan beban hutang negara. Walaupun begitu, yang dikritik pada teks ini adalah debt relief ini tidak cukup sebagai solusi untuk mengurangi kemiskinan, dikarenakan permasalahannya itu sendiri berada pada Pemerintah negara tersebut yang melakukan kesalahan dalam alokasi penggunaan dana tersebut.
      William Easterly menjelaskan mengapa debt relief menjadi permasalahan adalah bahwa permasalahan yang datang dari Pemerintah suatu negara tersebut, pertama-tama harus diperbaiki dulu. Sebab bila Pemerintah tersebut tidak dilakukan perubahan atau sebuah reformasi, maka dana yang akan masuk pada negara tidak akan dipergunakan secara efektif dan bijak. Easterly lebih menegaskan pada usaha institusi internasional dalam menghadapi masalah tersebut. Beliau menjelaskan bahwa dari sisi institusi harus membuat semacam perjanjian, agar pinjaman yang diberikan dapat dipertanggung jawabkan penggunaannya. Bahwa negara yang diberi pinjaman harus memenuhi persyaratan atau kewajiban dengan membuat rencana dalam memerangi kemiskinan. Selain dari perjanjian dan kebijakan itu sendiri, kreditur juga harus melakukan review bagaimana rencana anggaran biaya teralokasikan dari pinjaman yang diberikan. Esterly menjelaskan kondisi institusi yang tidak boleh terlalu terlibat dari kejadian yang sudah bersifat fait acompli ini, menyarankan agar institusi meberi jalan keluar kepada peminjam, dan untuk melihat bagaimana perkembangan selanjutnya.
        Kami sependapat dengan apa yang telah dijelaskan oleh William Easterly, bahwa debt relief bukan satu-satunya jalan keluar dalam menghadapi masalah kemiskinan. Sebab hal ini perlu dilihat dari perspektif hubungan internasional dan juga ekonomi. Untuk aplikasi pinjaman-pinjaman yang baru, institusi harus memerhatikan faktor dari latar belakang sejarah suatu negara. Dari perspektif ekonomi, kreditur harus mampu menganalisa laporan keuangan, serta membuat proyeksi sebagai mitigasi terjadinya overfinancing dan mempertanyakan bahwa pinjaman tersebut memang benar-benar dibutuhkan.
Dari sisi hubungan internasional, kreditur harus mengidentifikasi kondisi negara tersebut dari berbagai aspek seperti politik, geografis, masyarakat dan sistem pemerintahannya. Sebab masing-masing elemen bisa menjadi pengaruh dalam menghambat suatu program negara atau sebaliknya melihat potensi suatu negara dapat mengurangi kemiskinan lewat pinjaman yang diberikan. Kami berasumsi bahwa pinjaman yang diberikan tujuan modal pelayanan publik seperti Pendidikan, kesehatan dan infrastruktur yang merupakan elemen dari kesejahteraan negara. Maka bila berbicara dengan pendekatan neoliberal yang menegaskan megenai kerja-sama internasional, perjanjian-perjanjian harus dibentuk sedemikian rupa sebagai mitigasi risiko yang dapat timbul kedepannya. Walaupun seperti yang dikatakan oleh Esterly, bahwa tidak ada bukti empiris bahwa akan memajukan perekonomian dari fokus alokasi dana pada hal tersebut.
Kemudian bagaimana jalan keluar dengan pinjaman yang bersifat fait accompli? Bagi pinjaman yang sudah berjalan, kami berasumsi terlepas dari anggapan bahwa debt relief bukan merupakan sebuah jalan keluar, tetapi debt relief dari perspektif ekonomi merupakan usaha untuk mengurangi beban negara tersebut. Pinjaman yang sudah ada juga harus dilakukan review kembali dengan tujuan seperti yang telah dijelaskan pada dua paragraph sebelumnya. Namun tidak hanya itu saja, institusi dapat menentukan untuk kedepannya bentuk debt relief seperti apa yang ingin dilaksanakan dengan negara peminjam. Untuk seterusnya kami setuju dengan pendapat Easterly mengenai saran yang harus diberikan dari institusi kepada peminjam, tidak terlalu memberi intervensi dan sepenuhnya menyerahkan bagaimana yang akan terjadi kedepannnya dengan negara yang bersangkutan.
Sehingga permasalahannya yang dapat kami simpulkan adalah debt relief itu sendiri bukanlah masalah utama, melainkan pemberian pinjaman itu sendiri yang harus dilakukan melalui beberapa proses agar termitigasi risiko-risko yang dapat timbul dan agar pinjaman dapat terdistibrusi secara efisien dan tepat.

Nancy Birdsall, Dani Rodrik, dan Arvind Subramanian – How to Help Poor Countries
      Seperti telah disinggung pada bagian depan dalam How to Help Poor Countries, by Nancy Birdsall, Dani Rodrik, and Arvind Subramanian bahwa meningkatkan bantuan dan akses pasar untuk negara-negara miskin merupakan suatu hal yang masuk akal tetapi tidak akan banyak membantu. KTT PBB yang diadakan di New York pada 2005 dan dihadiri oleh para pemimpin negara telah mencapai kesepakatan bahwa bagi negara-negara kaya akan mengurangi hutang yang yang lebih dalam serta meningkatkan program bantuan untuk negara-negara berkembang sebagai proyeksi jangka panjang dalam upaya menurunkan tingkat kemiskinan dan kelaparan di negara-negara msikin.
     Doha Round dibawah kontrol WTO telah mendasarkan asumsinya terkait dengan bantuan internasional, yaitu; bahwa negara-negara kaya dapat secara material membentuk pembangunan di dunia miskin dan bahwa upaya mereka untuk melakukan itu harus sebagian besar terdiri dari penyediaan sumber daya dan peluang perdagangan untuk negara-negara miskin. Tentu saja ini bertabarakan dengan upaya otoritas dan otonom negara itu sendiri bahwa pembangunan ditentukan oleh negara-negara miskin itu sendiri, dan pihak luar hanya dapat memainkan peran yang terbatas. Nikaragua dan Vietnam, misalnya, Keduanya adalah negara miskin dengan ekonomi pertanian yang utama. Keduanya menderita konflik yang berkepanjangan. Dan keduanya mendapat manfaat dari bantuan luar negeri yang besar. Tetapi hanya Vietnam yang berhasil mengurangi kemiskinan secara dramatis dan menikmati pertumbuhan ekonomi yang stabil (lima persen per kapita sejak 1988). Sedangkan Nikaragua tidak mengalami perubahan ke perkembangan yang lebih baik. Vietnam melakukan improvisasi situasi untuk keluar dari keadaan dengan menggunakan sumber daya yang ada. Vietnam menghadapi embargo A.S. hingga 1994, dan masih belum menjadi anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Terlepas dari hambatan-hambatan ini, ia telah menemukan pasar untuk ekspor kopi dan produk pertanian lainnya yang meningkat dan telah berhasil memulai diversifikasi ke dalam manufaktur juga, terutama tekstil. Nikaragua, di sisi lain, mendapat manfaat dari akses preferensial ke pasar AS yang menguntungkan dan memiliki beberapa miliar dolar dari utang resmi yang ditulis pada 1990. Namun, industri ekspor kopi dan pakaiannya belum mampu bersaing dengan Vietnam.
Dalam buku ini, faktor internal (sejarah dan lembaga-lembaga ekonomi dan politik) telah mengalahkan faktor-faktor lain dalam menentukan keberhasilan ekonomi. Bantuan yang diperoleh Nikaragua tidak mampu mengatasi sejarah kesenjangan sosial dan ekonomi: tanah dan kekuasaan telah lama terkonsentrasi di tangan beberapa elit. Kemudian Cina dan India, dengan memberlakukan reformasi domestik yang kreatif, Cina dan India telah makmur, dan di kedua negara itu kemiskinan telah merosot. Benar, indikator pendidikan dan kesehatan telah meningkat pesat di Afrika, dan beberapa negaranya telah mencapai stabilitas ekonomi makro. Tetapi bahkan di negara-negara yang berkinerja terbaik, pertumbuhan dan produktivitas tetap rendah, dan investasi sepenuhnya bergantung pada pemasukan bantuan asing. Botswana dan Mauritius, kedua negara akan jauh lebih miskin tanpa akses ke pasar di luar negeri. Tetapi yang membedakan mereka bukanlah keunggulan eksternal yang mereka nikmati, tetapi kemampuan mereka untuk mengeksploitasi keunggulan ini. Meksiko pun mengalami hal yang sama, akses ke pasar eksternal dan sumber daya belum mampu menebus masalah internal Meksiko. Sejak 1992, ekonomi Meksiko telah tumbuh pada tingkat rata-rata tahunan hampir tidak lebih dari satu persen per kapita. Berbeda dengan keanggotaan Uni Eropa yang tidak hanya berfokus pada transfer bantuan dan akses pasar tetapi prospek untuk bergabung dengan serikat pekerja telah cukup mampu merangsang kebijakan mendalam dan perubahan kelembagaan serta pertumbuhan yang mengesankan di sekitar 20 negara.
Untuk memulai, ada pertanyaan tentang akses pasar. Saat ini, sistem perdagangan internasional penuh dengan ketidakadilan. Negara-negara kaya menempatkan tarif tertinggi pada impor yang penting bagi negara-negara berkembang — garmen dan pertanian, misalnya. Tarif meningkat ketika tingkat pemrosesan meningkat, menghambat industrialisasi di negara-negara miskin. Selain itu, negosiasi perdagangan multilateral kurang transparan dan sering kali mengecualikan negara-negara berkembang dari tindakan nyata. Menggunakan prosedur WTO untuk menyelesaikan perselisihan perdagangan membutuhkan uang dan keahlian teknis, yang keduanya tidak dimiliki oleh negara miskin.
 Bantuan memang bekerja dengan baik, tetapi hanya ketika negara-negara penerima melakukan hal yang benar untuk membantu diri mereka sendiri dan memiliki kapasitas dan kepemimpinan untuk membelanjakan uang dengan bijak. Namun, yang mungkin lebih penting adalah kekurangan institusional di pihak penerima. Bantuan hanya sebaik kemampuan ekonomi penerima dan pemerintah untuk menggunakannya secara bijaksana dan produktif. Negara-negara kaya juga dapat mengambil langkah-langkah positif untuk secara langsung menguntungkan negara-negara berkembang - khususnya, dengan mengambil tindakan terhadap para pemimpin yang korup, membantu penelitian dan pengembangan, dan meningkatkan mobilitas tenaga kerja global. Tantangan terdalam bagi negara-negara di bagian termiskin di dunia, terutama Afrika, adalah pemerintahan. Komunitas internasional harus bertanya pada diri sendiri apa yang sebenarnya penting bagi pembangunan, sehingga niat baik dapat diterjemahkan menjadi manfaat nyata bagi negara-negara termiskin. Jika bantuan ditingkatkan dan disampaikan dengan lebih efisien dan ketidaksetaraan perdagangan ditangani, maka dua pilar pembangunan tradisional akan menghasilkan imbalan. Selain itu, memberi negara-negara miskin kontrol lebih besar atas kebijakan ekonomi, membiayai teknologi baru yang ramah pembangunan, dan membuka pasar tenaga kerja — bisa mendapat manfaat lebih besar. Inilah saatnya mengarahkan perhatian negara-negara terkaya di dunia ke cara-cara lain untuk membantu yang termiskin — cara-cara yang sudah terlalu lama diabaikan.
           
***

Jakarta, 21 Februari 2019
Tim Penulis.
Petrus Harry Kurniawan dan Zariansah M. Soedajat 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bentuk Kekerasan Atas Nama Agama (Terorisme) dan Upaya Rekonsiliasi

Halo Desember

Seni Memahami: Hermeneutik Schleiermacher dan Dilthey (1)