Gambar: Pinterest
Pendahuluan
Tulisan ini mengambil titik
tolak dari empat artikel dengan judul yang berbeda sesuai dengan isi yang
dijelaskan sebagai berikut; 1) Liberalism –
Old and New karya William Ebenstein yang terdapat dalam buku Great Political Thinkers (1960). Buku
ini adalah salah satu dari ratusan buku yang mengupas seputar liberalisme,
ideologi yang telah mengalami “penyempurnaan” sekaligus kritik dari para ahli
sosiologi dan politik di berbagai negara. Topik liberalisme ini dibahas
Ebenstein di dalam Bagian Ke-22 dibawah judul Liberalism: Old and New. Di kalangan ilmuwan Indonesia, istilah “old and new” dalam konteks faham
liberalisme yang digunakan Ebenstein juga sering diterjemahkan dengan istilah
“klasik dan modern”; 2) The Cartel of Good
Intentions karya William Easterly. Ketika Kartel itu
sendiri dianggap sesuatu yang ditakuti oleh negara-negara karena memiliki sifat
absolut dalam konteks sumber daya, namun bagaimana bila Kartel dengan tujuan
kebaikan; 3)
Think Again: Debt Relief karya
William Easterly. Ketika debt
relief ini bukanlah jalan keluar dari kemiskinan bahkan bisa memperburuk
kondisi kemiskinan suatu negara; 4) How to Help
Poor Countries karya Nancy Birdsall, Dani Rodrik, dan Arvind Subramanian.
Meningkatnya bantuan dan akses pasar untuk negara-negara miskin merupakan satu
hal yang masuk akal tetapi tidak akan banyak membantu. Negara-negara kaya juga
harus mendorong langkah-langkah lain yang bisa jauh lebih bermanfaat seperti
memberi orang miskin kontrol lebih besar atas kebijakan ekonomi, membiayai
pembangunan teknologi baru yang ramah, dan membuka pasar tenaga kerja.
***
Wiliiam Ebenstein, Liberalism – Old and New
Dalam buku ini, Ebenstein
menampilkan dua tokoh yang dianggap paling berpengaruh, yang masing-masing
mewakili aliran pemikiran klasik dan modern. Kedua tokoh itu adalah Herbert
Spencer (1820-1903) yang mewakili pemikiran liberalisme klasik dan John Maynard
Keynes (1883-1946) yang mewakili aliran pemikiran liberalisme modern.
Warisan
pemikiran penting Spencer yang pertama dipublikasikan dalam majalah
Nonconformist pada awal tahun 1842, berupa serangkaian artikel berjudul The Proper Sphere of Government. Dalam
bukunya ini Spencer menyatakan keyakinan pandangannya, bahwa segala sesuatu di
alam ini memiliki hukum-hukumnya sendiri, dan manusia tunduk pada hukum alam
itu. Hukum alam menciptakan “keadilannya” sendiri bagi kehidupan pelbagai
makhluk di dunia. Jika seekor banteng yang sudah tua dan penyakitan, lalu
diterkam harimau dan mati, ini adalah “keadilan” yang diberikan alam, dan
karenanya tidak perlu disesali. Pada waktunya di kemudian hari nanti, si
harimau perkasa itu pastilah juga akan mati. Cepat atau lambat kematian itu
menjemputnya sangat bergantung pada kemampuannya menyesuaikan diri dengan
alamnya (survival of the fittest).
Karena itu, hidup dan mati bagi Spencer adalah kebutuhan alamiah, bukan suatu
kecelakaan.
Dalam
konteks evolusi tadi, Spencer hanya tertarik sedikit terhadap bentuk-bentuk
pemerintahan yang dibedakan secara tradisional kedalam model monarki,
aristokrasi dan demokrasi. Menurutnya, dalam kerangka teori evolusi ini ada 2
(dua) bentuk negara dan masyarakat: Negara Militer dan Negara Industri. Negara
militer adalah bentuk awal dari organisasi sosial yang sifatnya masih primitif,
barbar, dan selalu memiliki hasrat untuk berperang. Dan pemimpin militer
memiliki posisi seperti pemimpin politik, yang didalamnya terdapat hubungan
erat antara militeristik dengan tindakan kesewenang-wenangan. Individu dinilai
tidak lebih dari sekadar alat untuk mencapai tujuan akhir negara, yaitu
mencapai kemenangan dalam setiap peperangan.
Dalam
bidang perekonomian, negara militer tunduk kepada kepentingan dan kebutuhan
khas militer. Maka tujuan ekonomi sendiri tidak diarahkan pada bagaimana
mencapai dan mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan rakyat banyak, melainkan
sekadar diproyeksikan untuk tujuan-tujuan meningkatkan kekuatan militer demi
keberhasilan dalam peperangan dan penaklukan-penaklukan negara lain seperti
yang kemudian tampak pada fenomena kolonialisme dan imperialisme. Bahwa dalam
negara militer, suatu hubungan sosial dan kerjasama diantara individu-individu
atau kelompok-kelompok terjadi, hal ini lebih karena terpaksa atau dipaksakan
oleh kekuasaan negara, bukan lahir atas pertimbangan dan kesadaran sukarela
masyarakat. Dalam situasi dimana keamanan publik dianggap segala-galanya oleh
kekuasaan, maka ruang kebebasan individu dalam negara militer menjadi sempit.
Keynes
melihat ada yang keliru dalam faham laissez
faire. Berikut ini adalah pokok-pokok pikirannya yang mengoreksi
kekeliruan-kekeliruan liberalisme klasik itu.
Pertama
sekali Keynes menegaskan bahwa untuk menolong sistem perekonomian negara-negara
penganut liberalisme klasik dari kebangkrutannya karena krisis ekonomi pada
tahun 1930an itu, bangsa-bangsa harus bersedia meninggalkan ideologi laissez faire yang murni. Artinya,
prinsip membebaskan individu-individu dalam mengelola dan menjalankan kehidupan
ekonominya tanpa melibatkan pemerintah harus dihentikan. Pemerintah harus
melakukan campur tangan lebih banyak dalam mengendalikan perekonomian nasional.
Pijakan
dasar konsep ekonomi-politik liberalisme baru sebagaimana digagas Keynes antara
lain bermuara pada gagasan anti-naturalistik tentang pasar dan kompetisi.
Keynes melihat dan memposisikan pasar sebagai salah satu dari berbagai macam
model hubungan sosial bentukan manusia. Pasar bukanlah gejala alami. Oleh
karena itu maka pasar sesungguhnya dapat diciptakan dan dibatalkan menurut
desain kehendak manusia sendiri. Tidak ada ekonomi yang terpisah dari politik,
sebagaimana juga tidak ada politik yang terlepas dari ekonomi, sehingga kinerja
pasar juga membutuhkan adanya tindakan-tindakan politik yang bertugas
menciptakan serangkaian prakondisi bagi operasinya agar adil namun tetap
kompetitif.
William Easterly, The Cartel of Good
Intentions
Pada
bacaan artikel dijelaskan bahwa terdapat kartel dengan tujuan yang baik sesuai
dengan judul “The Cartel of Good Intentions”.
Good intention yang dimaksud ini adalah
organisasi atau institusi bantuan internasional bagi negara-negara miskin.
Organisasi bantuan ini menjadi bahasan dalam bacaan ini, karena menurut William
Easterly organisasi asing ini cenderung bersifat monopoli kepada negara-negara
miskin.
Pertama-tama
harus dipahami apa kartel itu sendiri dan bagaimana penerapannya pada yang
sudah ada. Kartel itu sendiri merupakan suatu organisasi yang didalamnya
beranggotakan pelaku-pelaku ekonomi yang memiliki sumber
daya alam atau sumber daya yang lain. Tidak seperti organisasi pada umumnya,
dalam kartel pemilik sumber daya tersebut mencapai suatu kesepakatan untuk
menetapkan nilai sumber daya tersebut yang relatif tinggi. Hal ini dilakukan
karena biasanya sumber daya tersebut bersifat langka, sehingga dalam kartel pun
tidak perlu ada kompetisi. Maka dari itu, bila berdasarkan teks bacaan kartel
memiliki perspektif kehadiran yang disegani atau ditakutkan oleh para pelanggan
yang menggunakan sumber daya tersebut.
Easterly
kemudian menjelaskan bagaimana bila ada “The
Cartel of Good Intentions” ini, yaitu penerapan konsep kartel pada
institusi dan organisasi pemberi bantuan akan memiliki efek yang lebih baik.
Sebab institusi dan organisasi yang memberi bantuan hanya fokus pada pencapaian
yang dilakukan agar banyak negara mencari institusi atau organisasi tersebut
dalam pencapaiannya memberi bantuan, tanpa memikirkan apa yang sebenarnya
dibutuhkan negara tersebut. Sehingga terkadang ketika suatu negara sudah
mendapat dana untuk investasi pada sektor yang dibutuhkan negara tersebut,
negara tersebut tidak memiliki kemampuan untuk mempertahankan
investasi tersebut. Maka dengan pembentukan kartel ini diharapkan ada suatu
kerangka yang terbentuk oleh kerja-sama dari institusi dan organisasi tersebut.
Kata
kuncinya adalah melakukan koordinasi dan tidak hanya pada institusi dan
organisasi tersebut saja, tetapi juga kerja-sama antara penerima dana.
Menemukan konsep baru dari bantuan itu sendiri tidak hanya bersifat material
dalam hal ini seperti bantuan dana, melainkan juga bisa dalam bentuk yang lain
juga. Penerima bantuan juga dapat memilih agen organisasi dalam menerima
bantuan ataupun bekerja sama dengan, sehingga hal ini juga mengurangi
persaingan itu sendiri pada organisasi pemberi bantuan.
Dari
perspektif yang diberikan William Easterly, kami sepenuhnya setuju dengan
pendapatnya. Sebab institusi dan organisasi yang memberi bantuan, bukanlah
sesuatu yang seharusnya dikompetisikan. Sehingga perlu dibuat sebuah kerangka
dari hasil koordinasi antara institusi-institusi dan organisasi-organisasi
mengenai masalah tersebut berdasarkan kejadian empiris.
Kami
berasumsi bahwa bila tidak ada kerangka berpikir yang dihasilkan dari
koordinasi tersebut, maka organisasi yang memberi bantuan jauh dari nilai-nilai
liberal. Sementara dalam liberal itu sendiri salah satu penegasannya adalah
bahwa kerja sama dalam hubungan internasional. Khususnya untuk
neoliberal, lebih spesifik bahwa untuk mencapai kerja sama
yang ingin dicapai dari nilai-nilai liberal, kerja sama
tersebut harus diinstitusikan lewat pembentukan institusi itu
sendiri atau perjanjian.
Adapun
pernyataan Willian Easterly yang kami juga sependapat yaitu, bahwa pemberi dana
juga harus mengingat untuk tidak bersikap sombong atas dana yang diberikan,
karena keberhasilan ataupun kegagalan yang dialami pada negara penerima bantuan
harus dicapai oleh usaha negara itu sendiri. Mengingat kembali nilai liberal
yang memiliki kebebasan, institusi harus kooperatif, tidak terlalu banyak
intervensi, lebih memberi saran kepada penerima dana tersebut dan secara bebas
memberikan kuasa pada penerima dana dalam melakukan langkah-langkah. Walau
mungkin, kembali lagi ada kerangka dari perjanjian-perjanjian itu sendiri yang
tidak boleh dilanggar dengan institusi atau organisasi pemberi bantuan
tersebut. Secara keseluruhan yang terpenting adalah kerja sama
dan koordinasi yang tepat dari aktor-aktor yang terlibat.
William Easterly, Think Again: Debt Relief
Pada bacaan
ini secara garis besar menjelaskan bagaimana “debt relief” atau pemutihan utang ini menjelaskan bahwa akan
memperparah kondisi kemiskinan suatu negara. Terdapat gerakan “Jubilee 2000” dalam mempromosikan apa
yang dinamakan dengan konsep debt relief.
Akan tetapi berdasarkan teks bacaan, debt
relief ini sudah pernah diterapkan sejak lama dalam berbagai bentuk.
Seperti pada saat tahun 1980 sampai dengan 1990 terdapat usaha-usaha institusi
internasional dari World Bank dan IMF
melakukan perubahan kondisi suku bunga pada pinjaman yang diberikan, dan juga
seperti grace period yang lebih lama.
Namun, gerakan Jubilee 2000 yang dilakukan Bono dan kawan-kawan
perlu diapresiasi, yang menempatkan masalah kemiskinan dalam agenda tersebut.
Dijelaskan
berdasarkan bacaan bahwa dari latar belakang sejarah dalam penerapan debt relief ini tidak membuahkan hasil
apa-apa bagi negara yang telah dilakukan debt
relief. Memang secara empiris hal tersebut terjadi, tetapi tidak disangkal
juga bahwa usaha dalam melakukan debt
relief ini juga meringankan beban hutang negara. Walaupun begitu, yang
dikritik pada teks ini adalah debt relief
ini tidak cukup sebagai solusi untuk mengurangi kemiskinan, dikarenakan
permasalahannya itu sendiri berada pada Pemerintah negara
tersebut yang melakukan kesalahan dalam alokasi penggunaan dana tersebut.
William Easterly
menjelaskan mengapa debt relief menjadi permasalahan adalah bahwa permasalahan
yang datang dari Pemerintah suatu negara tersebut, pertama-tama harus
diperbaiki dulu. Sebab bila Pemerintah tersebut tidak dilakukan perubahan atau
sebuah reformasi, maka dana yang akan masuk pada negara tidak akan dipergunakan
secara efektif dan bijak. Easterly lebih menegaskan pada usaha institusi
internasional dalam menghadapi masalah tersebut. Beliau menjelaskan bahwa dari
sisi institusi harus membuat semacam perjanjian, agar pinjaman yang diberikan
dapat dipertanggung jawabkan penggunaannya. Bahwa negara yang diberi pinjaman
harus memenuhi persyaratan atau kewajiban dengan membuat rencana dalam
memerangi kemiskinan. Selain dari perjanjian dan kebijakan itu sendiri,
kreditur juga harus melakukan review
bagaimana rencana anggaran biaya teralokasikan dari pinjaman yang diberikan.
Esterly menjelaskan kondisi institusi yang tidak boleh terlalu terlibat dari
kejadian yang sudah bersifat fait acompli
ini, menyarankan agar institusi meberi jalan keluar kepada peminjam, dan untuk
melihat bagaimana perkembangan selanjutnya.
Kami
sependapat dengan apa yang telah dijelaskan oleh William Easterly, bahwa debt relief bukan satu-satunya jalan
keluar dalam menghadapi masalah kemiskinan. Sebab hal ini perlu dilihat dari
perspektif hubungan internasional dan juga ekonomi. Untuk aplikasi
pinjaman-pinjaman yang baru, institusi harus memerhatikan faktor dari latar
belakang sejarah suatu negara. Dari perspektif ekonomi, kreditur harus mampu
menganalisa laporan keuangan, serta membuat proyeksi sebagai mitigasi
terjadinya overfinancing dan
mempertanyakan bahwa pinjaman tersebut memang benar-benar dibutuhkan.
Dari
sisi hubungan internasional, kreditur harus mengidentifikasi kondisi negara
tersebut dari berbagai aspek seperti politik, geografis, masyarakat dan sistem
pemerintahannya. Sebab masing-masing elemen bisa menjadi pengaruh dalam
menghambat suatu program negara atau sebaliknya melihat potensi suatu negara
dapat mengurangi kemiskinan lewat pinjaman yang diberikan. Kami berasumsi bahwa
pinjaman yang diberikan tujuan modal pelayanan publik seperti Pendidikan,
kesehatan dan infrastruktur yang merupakan elemen dari kesejahteraan negara.
Maka bila berbicara dengan pendekatan neoliberal yang menegaskan megenai
kerja-sama internasional, perjanjian-perjanjian harus dibentuk sedemikian rupa
sebagai mitigasi risiko yang dapat timbul kedepannya. Walaupun seperti yang
dikatakan oleh Esterly, bahwa tidak ada bukti empiris bahwa akan memajukan
perekonomian dari fokus alokasi dana pada hal tersebut.
Kemudian
bagaimana jalan keluar dengan pinjaman yang bersifat fait accompli? Bagi pinjaman yang sudah berjalan, kami berasumsi
terlepas dari anggapan bahwa debt relief
bukan merupakan sebuah jalan keluar, tetapi debt
relief dari perspektif ekonomi merupakan usaha untuk mengurangi beban negara
tersebut. Pinjaman yang sudah ada juga harus dilakukan review kembali dengan tujuan seperti yang telah dijelaskan pada dua
paragraph sebelumnya. Namun tidak hanya itu saja, institusi dapat menentukan
untuk kedepannya bentuk debt relief
seperti apa yang ingin dilaksanakan dengan negara peminjam. Untuk seterusnya
kami setuju dengan pendapat Easterly mengenai saran yang harus diberikan dari
institusi kepada peminjam, tidak terlalu memberi intervensi dan sepenuhnya
menyerahkan bagaimana yang akan terjadi kedepannnya dengan negara yang
bersangkutan.
Sehingga
permasalahannya yang dapat kami simpulkan adalah debt relief itu sendiri bukanlah masalah utama, melainkan pemberian
pinjaman itu sendiri yang harus dilakukan melalui beberapa proses agar
termitigasi risiko-risko yang dapat timbul dan agar pinjaman dapat
terdistibrusi secara efisien dan tepat.
Nancy Birdsall, Dani Rodrik, dan Arvind Subramanian – How to Help Poor Countries
Seperti
telah disinggung pada bagian depan dalam How
to Help Poor Countries, by Nancy
Birdsall, Dani Rodrik, and Arvind
Subramanian bahwa meningkatkan bantuan dan akses pasar untuk negara-negara
miskin merupakan suatu hal yang masuk akal tetapi tidak akan banyak membantu.
KTT PBB yang diadakan di New York pada 2005 dan dihadiri oleh para pemimpin
negara telah mencapai kesepakatan bahwa bagi negara-negara kaya akan mengurangi
hutang yang yang lebih dalam serta meningkatkan program bantuan untuk
negara-negara berkembang sebagai proyeksi jangka panjang dalam upaya menurunkan
tingkat kemiskinan dan kelaparan di negara-negara msikin.
Doha Round dibawah kontrol WTO telah mendasarkan asumsinya terkait dengan
bantuan internasional, yaitu; bahwa negara-negara kaya dapat secara material
membentuk pembangunan di dunia miskin dan bahwa upaya mereka untuk melakukan
itu harus sebagian besar terdiri dari penyediaan sumber daya dan peluang
perdagangan untuk negara-negara miskin. Tentu saja ini bertabarakan dengan
upaya otoritas dan otonom negara itu sendiri bahwa pembangunan ditentukan oleh
negara-negara miskin itu sendiri, dan pihak luar hanya dapat memainkan peran
yang terbatas. Nikaragua dan Vietnam, misalnya, Keduanya adalah negara miskin
dengan ekonomi pertanian yang utama. Keduanya menderita konflik yang
berkepanjangan. Dan keduanya mendapat manfaat dari bantuan luar negeri yang
besar. Tetapi hanya Vietnam yang berhasil mengurangi kemiskinan secara dramatis
dan menikmati pertumbuhan ekonomi yang stabil (lima persen per kapita sejak
1988). Sedangkan Nikaragua tidak mengalami perubahan ke perkembangan yang lebih
baik. Vietnam melakukan improvisasi situasi untuk keluar dari keadaan dengan
menggunakan sumber daya yang ada. Vietnam menghadapi embargo A.S. hingga 1994,
dan masih belum menjadi anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Terlepas
dari hambatan-hambatan ini, ia telah menemukan pasar untuk ekspor kopi dan
produk pertanian lainnya yang meningkat dan telah berhasil memulai
diversifikasi ke dalam manufaktur juga, terutama tekstil. Nikaragua, di sisi
lain, mendapat manfaat dari akses preferensial ke pasar AS yang menguntungkan
dan memiliki beberapa miliar dolar dari utang resmi yang ditulis pada 1990.
Namun, industri ekspor kopi dan pakaiannya belum mampu bersaing dengan Vietnam.
Dalam buku ini, faktor internal (sejarah dan lembaga-lembaga ekonomi dan
politik) telah mengalahkan faktor-faktor lain dalam menentukan keberhasilan
ekonomi. Bantuan yang diperoleh Nikaragua tidak mampu mengatasi sejarah
kesenjangan sosial dan ekonomi: tanah dan kekuasaan telah lama terkonsentrasi
di tangan beberapa elit. Kemudian Cina dan India, dengan memberlakukan
reformasi domestik yang kreatif, Cina dan India telah makmur, dan di kedua
negara itu kemiskinan telah merosot. Benar, indikator pendidikan dan kesehatan
telah meningkat pesat di Afrika, dan beberapa negaranya telah mencapai
stabilitas ekonomi makro. Tetapi bahkan di negara-negara yang berkinerja
terbaik, pertumbuhan dan produktivitas tetap rendah, dan investasi sepenuhnya
bergantung pada pemasukan bantuan asing. Botswana dan Mauritius, kedua negara
akan jauh lebih miskin tanpa akses ke pasar di luar negeri. Tetapi yang membedakan
mereka bukanlah keunggulan eksternal yang mereka nikmati, tetapi kemampuan
mereka untuk mengeksploitasi keunggulan ini. Meksiko pun mengalami hal yang
sama, akses ke pasar eksternal dan sumber daya belum mampu menebus masalah
internal Meksiko. Sejak 1992, ekonomi Meksiko telah tumbuh pada tingkat
rata-rata tahunan hampir tidak lebih dari satu persen per kapita. Berbeda
dengan keanggotaan Uni Eropa yang tidak hanya berfokus pada transfer bantuan
dan akses pasar tetapi prospek untuk bergabung dengan serikat pekerja telah
cukup mampu merangsang kebijakan mendalam dan perubahan kelembagaan serta
pertumbuhan yang mengesankan di sekitar 20 negara.
Untuk memulai, ada pertanyaan tentang akses pasar. Saat ini, sistem
perdagangan internasional penuh dengan ketidakadilan. Negara-negara kaya
menempatkan tarif tertinggi pada impor yang penting bagi negara-negara
berkembang — garmen dan pertanian, misalnya. Tarif meningkat ketika tingkat
pemrosesan meningkat, menghambat industrialisasi di negara-negara miskin. Selain
itu, negosiasi perdagangan multilateral kurang transparan dan sering kali
mengecualikan negara-negara berkembang dari tindakan nyata. Menggunakan
prosedur WTO untuk menyelesaikan perselisihan perdagangan membutuhkan uang dan
keahlian teknis, yang keduanya tidak dimiliki oleh negara miskin.
Bantuan memang bekerja dengan baik, tetapi hanya ketika negara-negara penerima melakukan hal yang benar untuk membantu diri mereka sendiri dan memiliki kapasitas dan kepemimpinan untuk membelanjakan uang dengan bijak. Namun, yang mungkin lebih penting adalah kekurangan institusional di pihak penerima. Bantuan hanya sebaik kemampuan ekonomi penerima dan pemerintah untuk menggunakannya secara bijaksana dan produktif. Negara-negara kaya juga dapat mengambil langkah-langkah positif untuk secara langsung menguntungkan negara-negara berkembang - khususnya, dengan mengambil tindakan terhadap para pemimpin yang korup, membantu penelitian dan pengembangan, dan meningkatkan mobilitas tenaga kerja global. Tantangan terdalam bagi negara-negara di bagian termiskin di dunia, terutama Afrika, adalah pemerintahan. Komunitas internasional harus bertanya pada diri sendiri apa yang sebenarnya penting bagi pembangunan, sehingga niat baik dapat diterjemahkan menjadi manfaat nyata bagi negara-negara termiskin. Jika bantuan ditingkatkan dan disampaikan dengan lebih efisien dan ketidaksetaraan perdagangan ditangani, maka dua pilar pembangunan tradisional akan menghasilkan imbalan. Selain itu, memberi negara-negara miskin kontrol lebih besar atas kebijakan ekonomi, membiayai teknologi baru yang ramah pembangunan, dan membuka pasar tenaga kerja — bisa mendapat manfaat lebih besar. Inilah saatnya mengarahkan perhatian negara-negara terkaya di dunia ke cara-cara lain untuk membantu yang termiskin — cara-cara yang sudah terlalu lama diabaikan.
***
Jakarta, 21 Februari 2019
Petrus Harry Kurniawan dan Zariansah M. Soedajat
Komentar
Posting Komentar