Halo Desember

Gambar
  Baru saja selesai mencicil pekerjaan. Lumayan lega rasanya meskipun masih belum selesai semuanya setidaknya bisa mengurangi. Tentu aku tidak akan menceritakan mengenai pekerjaanku. Tepat, sekarang pukul 00.00 masuk bulan Desember. Detik ini mulai dengan 1 Desember 2021. Sebelum aku menulis kesana kemari, aku hanya ingin mengucap syukur atas apa yang sudah berani aku jalani, terlewati. Ya, meskipun masih terasa sakit rasanya luka ini tapi setidaknya ia mampu bersahabat dengan waktu untuk terus berjalan, melanjutkan hidup. Terima kasih, luka, sudah menemaniku sejauh ini. Terima kasih waktu sudah mengizinkanku untuk merasakannya. Terima kasih untuk diri sendiri meskipun aku tahu perihnya saat ini yang masih harus aku tanggung tapiiiii semua akan berlalu. Mungkin besok saat aku bangun tidur? Atau lusa saat aku pulang ke ruang sepi? Minggu depan? Bulan depan, saat lantunan piano Holy Night mulai sering terdengar? Tahun depan? Tahun depannya lagi? Entahlah, kapanpun itu, silakan atur saja

Tantangan Komunitas ASEAN dalam Dinamika Politik Global


A.    Pendahuluan
            Pendahuluan ini mencoba menyoroti perubahan arsitektur regional di Asia Tenggara terhadap tantangan kontemporer politik dan ekonomi. Perubahan ini juga menjadi penguji bagi komunitas ASEAN menghadapi tantangan integritasnya dalam dinamika politik regional maupun global. Begitu banyak pekerjaan rumah bagi komunitas ASEAN untuk menjalankan komitmen bersama. Integritas ASEAN tidak bisa dilepaskan begitu saja dengan integrasi para anggota ASEAN. Integrasi kerja sama ini juga yang menjadi perhatian penulis, sejauh mana perkembangan konsep kerja sama anggota-anggota di regional dalam mewujudkan tujuan komunitas ASEAN: menjaga perdamaian, keamanan, dan stabilitas kawasan Asia Tenggara untuk pembangunan ekonomi kawasan?
            Pertanyaan tersebut membuka diskursus kita untuk melihat progresifitas dan sentralitas kerja sama ASEAN dalam mewujudkan tujuannya. Pertanyaan di atas juga di tujukan untuk membatasi pembahasan dalam esai ini agar tidak melebar dan keluar dari tema sentral. Untuk itu penulis memfokuskan esai ini pada tiga aspek yang menjadi pilar utama Komunitas ASEAN: ASEAN Economic Community (AEC) atau yang kita kenal dengan istilah Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), ASEAN Political Security Community (APSC), dan ASEAN Socio-Cultural Community (ASCC) yang merupakan dokumen pengganti ASEAN Way atau Peta Jalan menuju Masyarakat ASEAN (2009 – 2015) yang telah berakhir pada 31 Desember 2015. Kemudian menganalisis integrasi dan kerja sama dari ketiga pilar utama ini untuk menjawab tantangan kontemporer politik, keamanan dan ekonomi di kawasan Asia Tenggara khususnya untuk Komunitas ASEAN. Dari ketiga pilar utama ini juga kita akan melihat kekuatan sentralitas ASEAN dalam kaitannya dengan dinamika politik regional dan global dengan menyoroti beberapa bentuk kerja sama ASEAN pada masing-masing pilar utama.
Literatur dan rujukan dalam esai ini menggunakan bahan materi kuliah di kelas ASEAN dan Regionalisme di Asia Tenggara berupa blue print komunitas-komunitas ASEAN (AEC, APSC, ASCC), materi presentasi kelompok, catatan-catatan perkuliahan dan diskusi. Untuk megantarkan dasar pembahasan dari tema sentral kiranya perlu kita mengelaborasi dahulu dari masing-masing pilar utama komunitas ASEAN supaya keutuhan konsep dari gagasan ini menjadi lebih komperehensif.
B.     Pilar ASEAN Economic Community: Upaya Integrasi Penuh dan Terpadu
ASEAN Economic Community (AEC) atau Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) adalah sebuah kelanjutan dari MEA 2015 yang mempunyai dasar tujuan membentuk ekonomi di kawasan Asia Tenggara khususnya komunitas ASEAN menjadi semakin terintegrasi dan kohesif; meningkatkan daya saing yang dinamis; peningkatan konektivitas dan kerja sama sektoral; inklusif yang berpusat pada masyarakat di kawasan serta menjangkau masyarakat global. Namun beberapa kendala masih dihadapi dalam komunitas ini, seperti perlambatan di sektor perdagangan barang, karena dalam 5 tahun terakhir sekitar 99% produk barang di ASEAN diberlakukan bebas tarif. Sementara di sektor jasa, seperti kebutuhan tenaga profesional menghadapi regulasi lama yang masih harus berlanjut yaitu, masih sedikit bidang profesi yang diajukan.
Beberapa kendala tersebut di atas tentu menjadi pekerjaan rumah bagi komunitas ASEAN yang harus segera dibereskan untuk menciptakan pasar yang inklusif serta berdaya saing secara global. Terlepas dari kendala-kendala di atas, komunitas ASEAN dalam pilar ini patut untuk diperhitungkan menyangkut persoalan ekonomi digital. Sejalan dengan pemaparan dan diskusi studi kasus ekonomi digital pada tanggal 29 Maret 2019 dan berdasarkan sajian data infografis dari We Are Social pada periode Januari 2019, penetrasi pengguna internet berdasarkan kawasan, Asia Tenggara mempunyai data 63% dalam perbandingan jumlah pengguna internet untuk total populasi di dunia. Artinya, komunitas ASEAN mempunyai modal yang cukup besar untuk mengembangkan pasar ekonomi digital baik secara regional maupun global. Di tambah dengan beberapa negara anggota, seperti Indonesia yang mempunyai bonus demografi yang besar pada 20 tahun kedepan, ASEAN mampu menciptakan pasar ekonomi digital yang menjanjikan. Hal ini terbukti dengan beberapa perusahaan start-up di kawasan yang sudah mampu menjadi unicorn start-up, yaitu perusahaan rintisan (berbasis teknologi) yang mempunyai nilai valuasi di atas 1 miliar dollar AS. Berikut daftar perusahaan yang masuk dalam kategori unicorn start-up: Indonesia (Go-Jek, Tokopedia, Traveloka, Bukalapak), Singapura (Grab, Sea, Razer, Lazada), Vietnam (VGN Corporation), Filipina (Revolution Precrafted).
Proses globalisasi telah membuka peluang kemungkinan persaingan pasar bebas semakin lebar. Tantangan inilah yang memotivasi komunitas ASEAN untuk melakukan inovasi yang lebih progresif sesuai dengan cetak biru visi MEA 2025 yang ketiga, yakni memelihara pertumbuhan produktivitas yang kuat melalui inovasi, teknologi dan pengembangan sumber daya manusia, serta penelitian dan pengembangan kawasan yang dirancang bagi penerapan komersial untuk meningkatkan daya saing ASEAN dalam upaya menaikkan Rantai Nilai Global (Global Value Chain/ GVCs) ke industri manufaktur  dan jasa yang berteknologi tinggi dan padat pengetahuan. Tentu saja bukan hal mudah untuk mewujudkan misi tersebut, sinergisitas dari anggota komunitas yang heterogen harus dalam satu intonasi suara. Regulasi yang menghambat laju pergerakan barang dan jasa juga harus segera diselesaikan agar tercipta iklim ekonomi yang stabil dan berkelanjutan. Di sisi lain, infrastruktur yang menunjang digital ekonomi belum menyentuh pada pemerataan di setiap negara anggota, seperti Indonesia yang mengalami kendala pemerataan infrastruktur untuk daerah-daerah terdepan, terpinggir, dan terluar sehingga distribusi informasi, barang dan jasa menjadi terhambat. Selain dari aspek regulasi yang menghambat pergerakan laju informasi, barang, dan jasa dalam hal ini kaitannya dengan politik, satu aspek yang juga sangat penting untuk menjaga stabilitas laju pergerakan logistik adalah kemanan.
Bagaimana mengatasi tantangan dan hambatan menjadi kunci utama sinergisitas untuk komunitas ASEAN. Untuk itu perlunya upaya kerja sama yang solid mengatasi tantangan dan hambatan tersebut dalam rangka mewujudkan pasar yang terpadu dan terintegrasi penuh. Upaya ini tentu saja tidak bisa dibebankan begitu saja pada pilar utama ASEAN Economic Community (AEC), namun semua pilar utama harus ikut terlibat membangun integritas komunitas ASEAN dalam menghadapi dinamika politik regional maupun global.
C.    Sentralitas ASEAN dalam pilar ASEAN Political Security Community (APSC)
Satu dari tiga pilar utama ASEAN yang menjadi agenda fokus kerja sama komunitas ASEAN adalah ASEAN Political Security Community (APSC). Blue print APSC 2025 disusun  berdasarkan capaian yang telah diraih untuk meningkatkan kerja sama politik dan keamanan ASEAN ke tingkat yang lebih tinggi. Pilar ini menjadi begitu penting untuk membangun sentralitas komunitas di kawasan Asia Tenggara. Pertimbangan ini mengacu pada begitu tingginya eskalasi ketegangan baik antar anggota komunitas maupun dengan pihak eskternal. Jenis ketegangan yang terjadi pun begitu kompleks mulai dari ketegangan menyoal perbatasan, terorisme hingga pelanggaran hak asasi manusia. Upaya dialog yang serius perlu di tingkatkan untuk menurunkan eskalasi antar anggota komunitas maupun dengan pihak eksternal.
Tantangan dan kendala utama yang dihadapi komunitas adalah adanya prinsip non-intervensi bagi masing-masing anggota komunitas. Seperti contoh kasus Rohingya di Myanmar, di sini, jika di cermati lebih jauh, kasus ini tidak bisa dipandang hanya satu wajah tunggal saja. Beberapa pengamat studi hubungan internasional mengatakan bahwa akar masalah  dari persoalan ini adalah  Hak Asasi Manusia, pengamat yang lain mengatakan sosial-kultural atau ketegangan etnis, dst. Dengan prinsip non-intervensi, para anggota komunitas ASEAN tidak mempunyai wewenang lebih untuk terlibat secara langsung dalam ketegangan yang terjadi pada Rohingya di Myanmar. Suara atas nama komunitas ASEAN pun tidak mempunyai gaung yang kuat untuk menyelesaikan ketegangan di Rohingya karena pada prinsipnya kepentingan nasional lebih utama dibandingkan dengan kepentingan komunitas. Di sisi lain, persoalan terorisme di kawasan Asia Tenggara juga menjadi sorotan dunia karena menguatnya se-sel dari jaringan terorisme global di kawasan ini cukup aktif. Terorisme adalah salah satu contoh kasus lintas batas negara yang sudah mengubah wajah arsitektur kontemporer politik dan ekonomi kawasan maupun global menjadi semakin tidak menentu. Pasca serangan teror 9/11, pada bulan Desember 2001, komunitas ASEAN membentuk Declaration on Joint Action to Counter Terrorism  yang menekankan bahwa semua bentuk tindakan terorisme adalah serangan terhadap kemanusiaan dan sama sekali tidak dibenarkan  terlepas dari motivasi dan ancaman mendalam terhadap stabilitas dan perdamaian internasional. Deklarasi ini adalah simbol dari gerakan resmi komunitas ASEAN dalam menangani gerakan terorisme di wilayah regional dan global.
Pemaparan dan diskusi pilar APSC pada tanggal 5 dan 12 April 2019 di kelas ASEAN dan Regionalisme di Asia Tenggara menjelaskan, kordinasi dan kerja sama ASEAN di bidang politik dan keamanan dilakukan melalui lembaga Dewan Masyarakat Politik-Keamanan ASEAN (ASEAN Political-Security Community Council/APSCC). Di sinilah sentralitas komunitas ASEAN menunjukan kredibilitasnya, karena pembahasan-pembahasan isu-isu sentral tidak hanya difokuskan pada sektor politik-keamanan saja, tetapi juga harus memperhatikan isu-isu lintas Dewan Masyarakat Ekonomi dan Dewan Masyarakat Sosial-Budaya. Hal ini senada dengan karakteristik dan elemen dalam blue print Masyarakat Politik-Keamanan ASEAN 2025 point 5.1, yakni, suatu masyarakat yang berbasis aturan, berorientasi pada rakyat, terikat oleh prinsip-prinsip dasar, nilai-nilai dan norma-norma bersama, dimana  masyarakat menikmati hak asasi manusia, kebebasan mendasar dan keadilan sosial, menghargai nilai-nilai toleransi dan moderasi, serta memiliki rasa kebersamaan, tujuan dan identitas bersama. Untuk itu integrasi kerja sama masing-masing anggota komunitas ASEAN harus merambah di semua sektor sebagai rantai sinergisitas menuju sentralitas kawasan dalam menghadapi proses globalisasi. Penanganan ketegangan harus dalam koridor diplomasi yang menjunjung tinggi norma-norma bersama.
D.    Merajut Persatuan Bersama ASEAN Socio-Cultural Community (ASCC)
ASEAN Socio-Cultural Community (ASCC) atau Masyarakat Sosial Budaya ASEAN adalah salah satu pilar utama komunitas ASEAN dalam bentuk kerja sama yang berorientasi dan berpusat pada masyarakat untuk memperkuat integrasi ASEAN dan memperkokoh kesadaran, kasetiakawanan, kemitraan, dan rasa kebersamaan masyarakat terhadap ASEAN. Terdapat lima karakter dalam Visi Masyarakat Sosial Budaya ASEAN 2025 yang tertuang dalam blue print ASCC 2025, yaitu: (1) mengikutsertakan dan bermanfaat bagi masyarakat; (2) inklusif; (3) berkelanjutan; (4) berdaya tahan; dan (5) dinamis.
Dalam pemaparan dan diskusi ASCC pada kelas ASEAN dan Regionalisme di Asia Tenggara tangal 26 April 2019 dan 6 Mei 2019 mencoba mengangkat beberapa studi kasus, seperti: ASCC – Sutainable Development Goals 2030, Olahraga, Biodiversity, Climate Change, Eco-friendly and Green Lifestyle, Millenials Lifestyle dan Pemuda, dan Perlindungan Anak dan Perempuan. Beberapa studi kasus tersebut setidaknya mewakili dari karakter-karakter yang dirumuskan dalam cetak biru ASCC 2025. Dari rumusan yang sudah diaplikasikan, dalam bidang olahraga, ASIAN Games 2018, misalnya. Kita dapat melihat momentum luar biasa bagaimana Korea Utara dan Korea Selatan yang sudah sejak lama terjadi ketegangan antar keduanya kemudian melebur jadi satu dalam agenda kerja sama di ajang ASIAN Games 2018 yang diadakan di Jakarta dan Palembang, Indonesia. Olahraga telah menjadi jalan untuk rekonsilisasi ketegangan negara. Di sisi lain, ASEAN secara serius juga memperhatikan masalah-masalah perlindungan anak dan perempuan seperti terwujud dalam; 1) ASEAN Convetion Against Trafficking in Person, Especially Women and Children yang bertujuan untuk mencegah dan memberantas perdagangan orang, khususnya perempuan dan anak, serta memastikan hukum yang adil dan efektif bagi pelaku perdagangan manusia. 2) ASEAN Declaration on the Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers yang mempunyai prinsip baik negara penerima maupun negara pengirim harus memperkuat pilar politik, dan sosial komunitas ASEAN dengan mempromosikan potensi penuh dan martabat pekerja migran  dalam iklim kebebasan, keadilan, dan stabilitas sesuai dengan hukum, peraturan, dan kebijakan dari masing-masing Negara Anggota ASEAN. 3) The ASEAN Commission on the Promotion and Protection of the Rights of Women and Children (ACWC) yang bertujuan untuk memperkuat upaya bersama dalam Pemajuan dan Perlindungan Hak Perempuan dan Anak di kawasan.
Dengan beberapa studi kasus dan bentuk kerja sama di atas kiranya ASEAN mampu menciptakan iklim persatuan dalam bingkai Masyarakat Sosial Budaya. Prinsip-prinsip dialog dan kerja sama dalam Masyarakat Sosial Budaya adalah sebuah upaya untuk terus aktif mengikuti dinamika politik regional dan global. Dengan terus terlibat aktif, ASEAN diharapakan mampu meyuguhkan solusi komperehensif yang sejalan dengan perkembangan tatanan politik global serta memperkuat rasa kebersamaan dengan menjunjung tinggi prinsip non-intervensi dan menghormati nilai-nilai luhur kedaulatan negara. Karena inti Masyarakat Sosial Budaya ASEAN adalah komitmen untuk meningkatkan kualitas hidup rakyat melalui kerja sama yang berorientasi pada rakyat, berpusat pada rakyat, ramah lingkungan, dan diarahkan untuk memajukan pembangunan berkelanjutan.
E.     Perwujudan Kerja Sama dalam Lingkaran Pilar-Pilar Komunitas ASEAN.
Di awal kita sudah mencoba melihat bagaimana masing-masing pilar utama memainkan peranannnya dalam kontribusi membangun integritas komunitas ASEAN dan kawasan dalam menghadapi tantangan dan kendala terhadap dinamika kontemporer politik regional maupun global. Namun yang menjadi perhatian utama di sini adalah bagaimana ketiga pilar utama dalam blue print 2025 dapat menjadi kunci membangun kredibilitas komunitas bagi kawasan dan global. Sinergisitas kerja sama harus di pandang sebagai komponen kerja sama secara berkelindan. Dengan demikian harapan akan proyeksi blue print ASEAN 2025 dapat menjalankan peranannya secara maksimal.
Seperti sudah di singgung di atas, bahwa ASEAN memiliki (ASEAN Political-Security Community Council/APSCC) atau Dewan Masyarakat Politik Keamanan Masyarakat ASEAN yang dalam prinsip kerjanya harus mampu mengintegrasikan bentuk-bentuk kerja sama dari semua pilar yang ada; AEC, APSC, dan ASCC.
Sektor perekonomian berbasis digital di kawasan yang muncul sebagai bentuk respon atas perkembangan globalisasi terhadap pasar harus mampu mengembangkan atau paling tidak menjaga pasar agar tetap stabil. Dengan kestabilan ini, arus distribusi informasi, barang, dan jasa dapat berjalan dengan lancar untuk memenuhi kebutuhan dan permintaan pasar. Dalam arsitektur pasar ini peranan AEC menjadi sangat kuat untuk mengatur dan menciptakan iklim pasar yang sehat bagi para anggota komunitas dan pihak eksternal.
Proses globalisasi selain mendorong sektor perekonomian untuk menyesuaikan diri terhadap pasar juga mendorong bentuk-bentuk kerja sama dalam sektor sosial kebudayaan yang turut serta berkontribusi terhadap respon globalisasi dan dinamika politik global seperti dalam studi kasus kerja sama antara Korea Selatan dan Korea Utara dalam ajang ASIAN Games 2018 di Jakarta dan Palembang. Di sini peranan pilar ASCC menjadi begitu penting sebagai wadah kerja sama dalam Masyarakat Sosial Budaya ASEAN.
Harapan akan ekonomi pasar yang stabil dan kondusif memang menjadi fokus pilar AEC, namun iklim pasar yang stabil dan kondusif juga menjadi peranan yang penting bagi APSC, pilar ini harus meyuguhkan regulasi yang tidak menghambat perkembangan pasar dan mampu memberikan ruang yang aman dalam distribusi informasi, barang, dan jasa bagi komunitas. Dengan iklim pasar yang aman dan regulasi yang komperehensif diharapkan perekonomian, bukan saja perekonomian berbasis digital, mampu menciptakan pasar yang berkelanjutan. APSC juga berperan penting untuk menjaga keamanan bagi komunitas di kawasan dalam hal ini terkait dengan perkembangan Masyarakat Sosial Budaya. Kejahatan lintas batas negara, terorisme, misalnya, secara tidak langsung juga menjadi ancaman terhadap kultur-kultur yang sangat hetergoen di kawasan Asia Tenggara yang sudah dijaga berabad-abad sebagai warisan dunia. Menjadi begitu penting, sebab kehidupan sosial dan kebudayaan adalah peradaban manusia yang harus dijaga dan dilestarikan. Kesadaran akan pentinganya rasa memiliki bersama akan budaya kiranya membawa Korea Utara dan Korea Selatan berada dalam panggung yang sama untuk memperjuangkan eksitensinya di kancah olahraga dunia, ASIAN Games 2018.
Namun hal yang paling mendasar adalah kesadaran seluruh Masyarakat Komunitas ASEAN bahwa kita sedang menghadapi tantangan dalam perkembangan proses globalisasi. Masyarakat juga harus berperan aktif terlibat secara langsung maupun tidak langsung yaitu dengan mempromosikan agenda kerja sama komunitas ASEAN.
***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bentuk Kekerasan Atas Nama Agama (Terorisme) dan Upaya Rekonsiliasi

Halo Desember

Seni Memahami: Hermeneutik Schleiermacher dan Dilthey (1)