A.
Pendahuluan
Pendahuluan ini mencoba menyoroti
perubahan arsitektur regional di Asia Tenggara terhadap tantangan kontemporer
politik dan ekonomi. Perubahan ini juga menjadi penguji bagi komunitas ASEAN
menghadapi tantangan integritasnya dalam dinamika politik regional maupun
global. Begitu banyak pekerjaan rumah bagi komunitas ASEAN untuk menjalankan
komitmen bersama. Integritas ASEAN tidak bisa dilepaskan begitu saja dengan
integrasi para anggota ASEAN. Integrasi kerja sama ini juga yang menjadi
perhatian penulis, sejauh mana perkembangan konsep kerja sama anggota-anggota
di regional dalam mewujudkan tujuan komunitas ASEAN: menjaga perdamaian,
keamanan, dan stabilitas kawasan Asia Tenggara untuk pembangunan ekonomi
kawasan?
Pertanyaan tersebut membuka
diskursus kita untuk melihat progresifitas dan sentralitas kerja sama ASEAN
dalam mewujudkan tujuannya. Pertanyaan di atas juga di tujukan untuk membatasi
pembahasan dalam esai ini agar tidak melebar dan keluar dari tema sentral.
Untuk itu penulis memfokuskan esai ini pada tiga aspek yang menjadi pilar utama
Komunitas ASEAN: ASEAN Economic Community
(AEC) atau yang kita kenal dengan istilah Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), ASEAN Political Security Community (APSC),
dan ASEAN Socio-Cultural Community (ASCC)
yang merupakan dokumen pengganti ASEAN
Way atau Peta Jalan menuju Masyarakat ASEAN (2009 – 2015) yang telah
berakhir pada 31 Desember 2015. Kemudian menganalisis integrasi dan kerja sama dari
ketiga pilar utama ini untuk menjawab tantangan kontemporer politik, keamanan
dan ekonomi di kawasan Asia Tenggara khususnya untuk Komunitas ASEAN. Dari
ketiga pilar utama ini juga kita akan melihat kekuatan sentralitas ASEAN dalam
kaitannya dengan dinamika politik regional dan global dengan menyoroti beberapa
bentuk kerja sama ASEAN pada masing-masing pilar utama.
Literatur
dan rujukan dalam esai ini menggunakan bahan materi kuliah di kelas ASEAN dan
Regionalisme di Asia Tenggara berupa blue
print komunitas-komunitas ASEAN (AEC, APSC, ASCC), materi presentasi
kelompok, catatan-catatan perkuliahan dan diskusi. Untuk megantarkan dasar
pembahasan dari tema sentral kiranya perlu kita mengelaborasi dahulu dari
masing-masing pilar utama komunitas ASEAN supaya keutuhan konsep dari gagasan
ini menjadi lebih komperehensif.
B.
Pilar
ASEAN Economic Community: Upaya
Integrasi Penuh dan Terpadu
ASEAN Economic Community (AEC) atau Masyarakat
Ekonomi ASEAN (MEA) adalah sebuah kelanjutan dari MEA 2015 yang mempunyai dasar
tujuan membentuk ekonomi di kawasan Asia Tenggara khususnya komunitas ASEAN
menjadi semakin terintegrasi dan kohesif; meningkatkan daya saing yang dinamis;
peningkatan konektivitas dan kerja sama sektoral; inklusif yang berpusat pada
masyarakat di kawasan serta menjangkau masyarakat global. Namun beberapa
kendala masih dihadapi dalam komunitas ini, seperti perlambatan di sektor
perdagangan barang, karena dalam 5 tahun terakhir sekitar 99% produk barang di
ASEAN diberlakukan bebas tarif. Sementara di sektor jasa, seperti kebutuhan
tenaga profesional menghadapi regulasi lama yang masih harus berlanjut yaitu,
masih sedikit bidang profesi yang diajukan.
Beberapa
kendala tersebut di atas tentu menjadi pekerjaan rumah bagi komunitas ASEAN
yang harus segera dibereskan untuk menciptakan pasar yang inklusif serta
berdaya saing secara global. Terlepas dari kendala-kendala di atas, komunitas
ASEAN dalam pilar ini patut untuk diperhitungkan menyangkut persoalan ekonomi
digital. Sejalan dengan pemaparan dan diskusi studi kasus ekonomi digital pada
tanggal 29 Maret 2019 dan berdasarkan sajian data infografis dari We Are Social pada periode Januari 2019,
penetrasi pengguna internet berdasarkan kawasan, Asia Tenggara mempunyai data
63% dalam perbandingan jumlah pengguna internet untuk total populasi di dunia. Artinya,
komunitas ASEAN mempunyai modal yang cukup besar untuk mengembangkan pasar
ekonomi digital baik secara regional maupun global. Di tambah dengan beberapa
negara anggota, seperti Indonesia yang mempunyai bonus demografi yang besar
pada 20 tahun kedepan, ASEAN mampu menciptakan pasar ekonomi digital yang
menjanjikan. Hal ini terbukti dengan beberapa perusahaan start-up di kawasan yang sudah mampu menjadi unicorn start-up, yaitu perusahaan rintisan (berbasis teknologi)
yang mempunyai nilai valuasi di atas 1 miliar dollar AS. Berikut daftar
perusahaan yang masuk dalam kategori unicorn
start-up: Indonesia (Go-Jek, Tokopedia, Traveloka, Bukalapak), Singapura
(Grab, Sea, Razer, Lazada), Vietnam (VGN Corporation), Filipina (Revolution
Precrafted).
Proses
globalisasi telah membuka peluang kemungkinan persaingan pasar bebas semakin
lebar. Tantangan inilah yang memotivasi komunitas ASEAN untuk melakukan inovasi
yang lebih progresif sesuai dengan cetak biru visi MEA 2025 yang ketiga, yakni
memelihara pertumbuhan produktivitas yang kuat melalui inovasi, teknologi dan
pengembangan sumber daya manusia, serta penelitian dan pengembangan kawasan
yang dirancang bagi penerapan komersial untuk meningkatkan daya saing ASEAN
dalam upaya menaikkan Rantai Nilai Global (Global
Value Chain/ GVCs) ke industri manufaktur
dan jasa yang berteknologi tinggi dan padat pengetahuan. Tentu saja
bukan hal mudah untuk mewujudkan misi tersebut, sinergisitas dari anggota
komunitas yang heterogen harus dalam satu intonasi suara. Regulasi yang
menghambat laju pergerakan barang dan jasa juga harus segera diselesaikan agar
tercipta iklim ekonomi yang stabil dan berkelanjutan. Di sisi lain, infrastruktur
yang menunjang digital ekonomi belum menyentuh pada pemerataan di setiap negara
anggota, seperti Indonesia yang mengalami kendala pemerataan infrastruktur
untuk daerah-daerah terdepan, terpinggir, dan terluar sehingga distribusi
informasi, barang dan jasa menjadi terhambat. Selain dari aspek regulasi yang
menghambat pergerakan laju informasi, barang, dan jasa dalam hal ini kaitannya
dengan politik, satu aspek yang juga sangat penting untuk menjaga stabilitas
laju pergerakan logistik adalah kemanan.
Bagaimana
mengatasi tantangan dan hambatan menjadi kunci utama sinergisitas untuk
komunitas ASEAN. Untuk itu perlunya upaya kerja sama yang solid mengatasi
tantangan dan hambatan tersebut dalam rangka mewujudkan pasar yang terpadu dan
terintegrasi penuh. Upaya ini tentu saja tidak bisa dibebankan begitu saja pada
pilar utama ASEAN Economic Community
(AEC), namun semua pilar utama harus ikut terlibat membangun integritas komunitas
ASEAN dalam menghadapi dinamika politik regional maupun global.
C.
Sentralitas
ASEAN dalam pilar ASEAN Political
Security Community (APSC)
Satu
dari tiga pilar utama ASEAN yang menjadi agenda fokus kerja sama komunitas
ASEAN adalah ASEAN Political Security
Community (APSC). Blue print APSC
2025 disusun berdasarkan capaian yang
telah diraih untuk meningkatkan kerja sama politik dan keamanan ASEAN ke
tingkat yang lebih tinggi. Pilar ini menjadi begitu penting untuk membangun
sentralitas komunitas di kawasan Asia Tenggara. Pertimbangan ini mengacu pada
begitu tingginya eskalasi ketegangan baik antar anggota komunitas maupun dengan
pihak eskternal. Jenis ketegangan yang terjadi pun begitu kompleks mulai dari
ketegangan menyoal perbatasan, terorisme hingga pelanggaran hak asasi manusia.
Upaya dialog yang serius perlu di tingkatkan untuk menurunkan eskalasi antar
anggota komunitas maupun dengan pihak eksternal.
Tantangan
dan kendala utama yang dihadapi komunitas adalah adanya prinsip non-intervensi
bagi masing-masing anggota komunitas. Seperti contoh kasus Rohingya di Myanmar,
di sini, jika di cermati lebih jauh, kasus ini tidak bisa dipandang hanya satu
wajah tunggal saja. Beberapa pengamat studi hubungan internasional mengatakan
bahwa akar masalah dari persoalan ini
adalah Hak Asasi Manusia, pengamat yang
lain mengatakan sosial-kultural atau ketegangan etnis, dst. Dengan prinsip
non-intervensi, para anggota komunitas ASEAN tidak mempunyai wewenang lebih
untuk terlibat secara langsung dalam ketegangan yang terjadi pada Rohingya di
Myanmar. Suara atas nama komunitas ASEAN pun tidak mempunyai gaung yang kuat
untuk menyelesaikan ketegangan di Rohingya karena pada prinsipnya kepentingan
nasional lebih utama dibandingkan dengan kepentingan komunitas. Di sisi lain,
persoalan terorisme di kawasan Asia Tenggara juga menjadi sorotan dunia karena
menguatnya se-sel dari jaringan terorisme global di kawasan ini cukup aktif.
Terorisme adalah salah satu contoh kasus lintas batas negara yang sudah
mengubah wajah arsitektur kontemporer politik dan ekonomi kawasan maupun global
menjadi semakin tidak menentu. Pasca serangan teror 9/11, pada bulan Desember
2001, komunitas ASEAN membentuk Declaration
on Joint Action to Counter Terrorism yang menekankan bahwa semua bentuk tindakan
terorisme adalah serangan terhadap kemanusiaan dan sama sekali tidak
dibenarkan terlepas dari motivasi dan
ancaman mendalam terhadap stabilitas dan perdamaian internasional. Deklarasi
ini adalah simbol dari gerakan resmi komunitas ASEAN dalam menangani gerakan
terorisme di wilayah regional dan global.
Pemaparan
dan diskusi pilar APSC pada tanggal 5 dan 12 April 2019 di kelas ASEAN dan
Regionalisme di Asia Tenggara menjelaskan, kordinasi dan kerja sama ASEAN di bidang
politik dan keamanan dilakukan melalui lembaga Dewan Masyarakat
Politik-Keamanan ASEAN (ASEAN
Political-Security Community Council/APSCC). Di sinilah sentralitas
komunitas ASEAN menunjukan kredibilitasnya, karena pembahasan-pembahasan
isu-isu sentral tidak hanya difokuskan pada sektor politik-keamanan saja,
tetapi juga harus memperhatikan isu-isu lintas Dewan Masyarakat Ekonomi dan
Dewan Masyarakat Sosial-Budaya. Hal ini senada dengan karakteristik dan elemen
dalam blue print Masyarakat
Politik-Keamanan ASEAN 2025 point 5.1, yakni, suatu masyarakat yang berbasis
aturan, berorientasi pada rakyat, terikat oleh prinsip-prinsip dasar,
nilai-nilai dan norma-norma bersama, dimana
masyarakat menikmati hak asasi manusia, kebebasan mendasar dan keadilan
sosial, menghargai nilai-nilai toleransi dan moderasi, serta memiliki rasa
kebersamaan, tujuan dan identitas bersama. Untuk itu integrasi kerja sama
masing-masing anggota komunitas ASEAN harus merambah di semua sektor sebagai
rantai sinergisitas menuju sentralitas kawasan dalam menghadapi proses
globalisasi. Penanganan ketegangan harus dalam koridor diplomasi yang
menjunjung tinggi norma-norma bersama.
D.
Merajut
Persatuan Bersama ASEAN Socio-Cultural
Community (ASCC)
ASEAN Socio-Cultural Community
(ASCC) atau Masyarakat Sosial Budaya ASEAN adalah salah satu pilar utama
komunitas ASEAN dalam bentuk kerja sama yang berorientasi dan berpusat pada
masyarakat untuk memperkuat integrasi ASEAN dan memperkokoh kesadaran,
kasetiakawanan, kemitraan, dan rasa kebersamaan masyarakat terhadap ASEAN. Terdapat
lima karakter dalam Visi Masyarakat Sosial Budaya ASEAN 2025 yang tertuang
dalam blue print ASCC 2025, yaitu:
(1) mengikutsertakan dan bermanfaat bagi masyarakat; (2) inklusif; (3)
berkelanjutan; (4) berdaya tahan; dan (5) dinamis.
Dalam
pemaparan dan diskusi ASCC pada kelas ASEAN dan Regionalisme di Asia Tenggara
tangal 26 April 2019 dan 6 Mei 2019 mencoba mengangkat beberapa studi kasus,
seperti: ASCC – Sutainable Development
Goals 2030, Olahraga, Biodiversity,
Climate Change, Eco-friendly and Green
Lifestyle, Millenials Lifestyle
dan Pemuda, dan Perlindungan Anak dan Perempuan. Beberapa studi kasus tersebut
setidaknya mewakili dari karakter-karakter yang dirumuskan dalam cetak biru
ASCC 2025. Dari rumusan yang sudah diaplikasikan, dalam bidang olahraga, ASIAN
Games 2018, misalnya. Kita dapat melihat momentum luar biasa bagaimana Korea
Utara dan Korea Selatan yang sudah sejak lama terjadi ketegangan antar keduanya
kemudian melebur jadi satu dalam agenda kerja sama di ajang ASIAN Games 2018
yang diadakan di Jakarta dan Palembang, Indonesia. Olahraga telah menjadi jalan
untuk rekonsilisasi ketegangan negara. Di sisi lain, ASEAN secara serius juga
memperhatikan masalah-masalah perlindungan anak dan perempuan seperti terwujud
dalam; 1) ASEAN Convetion Against
Trafficking in Person, Especially Women and Children yang bertujuan untuk
mencegah dan memberantas perdagangan orang, khususnya perempuan dan anak, serta
memastikan hukum yang adil dan efektif bagi pelaku perdagangan manusia. 2) ASEAN Declaration on the Protection and
Promotion of the Rights of Migrant Workers yang mempunyai prinsip baik
negara penerima maupun negara pengirim harus memperkuat pilar politik, dan
sosial komunitas ASEAN dengan mempromosikan potensi penuh dan martabat pekerja
migran dalam iklim kebebasan, keadilan,
dan stabilitas sesuai dengan hukum, peraturan, dan kebijakan dari masing-masing
Negara Anggota ASEAN. 3) The ASEAN
Commission on the Promotion and Protection of the Rights of Women and Children
(ACWC) yang bertujuan untuk memperkuat upaya bersama dalam Pemajuan dan
Perlindungan Hak Perempuan dan Anak di kawasan.
Dengan
beberapa studi kasus dan bentuk kerja sama di atas kiranya ASEAN mampu
menciptakan iklim persatuan dalam bingkai Masyarakat Sosial Budaya. Prinsip-prinsip
dialog dan kerja sama dalam Masyarakat Sosial Budaya adalah sebuah upaya untuk
terus aktif mengikuti dinamika politik regional dan global. Dengan terus
terlibat aktif, ASEAN diharapakan mampu meyuguhkan solusi komperehensif yang
sejalan dengan perkembangan tatanan politik global serta memperkuat rasa
kebersamaan dengan menjunjung tinggi prinsip non-intervensi dan menghormati
nilai-nilai luhur kedaulatan negara. Karena inti Masyarakat Sosial Budaya ASEAN
adalah komitmen untuk meningkatkan kualitas hidup rakyat melalui kerja sama
yang berorientasi pada rakyat, berpusat pada rakyat, ramah lingkungan, dan
diarahkan untuk memajukan pembangunan berkelanjutan.
E.
Perwujudan
Kerja Sama dalam Lingkaran Pilar-Pilar Komunitas ASEAN.
Di
awal kita sudah mencoba melihat bagaimana masing-masing pilar utama memainkan
peranannnya dalam kontribusi membangun integritas komunitas ASEAN dan kawasan
dalam menghadapi tantangan dan kendala terhadap dinamika kontemporer politik
regional maupun global. Namun yang menjadi perhatian utama di sini adalah
bagaimana ketiga pilar utama dalam blue
print 2025 dapat menjadi kunci membangun kredibilitas komunitas bagi
kawasan dan global. Sinergisitas kerja sama harus di pandang sebagai komponen
kerja sama secara berkelindan. Dengan demikian harapan akan proyeksi blue print ASEAN 2025 dapat menjalankan
peranannya secara maksimal.
Seperti
sudah di singgung di atas, bahwa ASEAN memiliki (ASEAN Political-Security Community Council/APSCC) atau Dewan
Masyarakat Politik Keamanan Masyarakat ASEAN yang dalam prinsip kerjanya harus
mampu mengintegrasikan bentuk-bentuk kerja sama dari semua pilar yang ada; AEC,
APSC, dan ASCC.
Sektor
perekonomian berbasis digital di kawasan yang muncul sebagai bentuk respon atas
perkembangan globalisasi terhadap pasar harus mampu mengembangkan atau paling
tidak menjaga pasar agar tetap stabil. Dengan kestabilan ini, arus distribusi
informasi, barang, dan jasa dapat berjalan dengan lancar untuk memenuhi
kebutuhan dan permintaan pasar. Dalam arsitektur pasar ini peranan AEC menjadi
sangat kuat untuk mengatur dan menciptakan iklim pasar yang sehat bagi para
anggota komunitas dan pihak eksternal.
Proses
globalisasi selain mendorong sektor perekonomian untuk menyesuaikan diri
terhadap pasar juga mendorong bentuk-bentuk kerja sama dalam sektor sosial
kebudayaan yang turut serta berkontribusi terhadap respon globalisasi dan
dinamika politik global seperti dalam studi kasus kerja sama antara Korea
Selatan dan Korea Utara dalam ajang ASIAN Games 2018 di Jakarta dan Palembang.
Di sini peranan pilar ASCC menjadi begitu penting sebagai wadah kerja sama
dalam Masyarakat Sosial Budaya ASEAN.
Harapan
akan ekonomi pasar yang stabil dan kondusif memang menjadi fokus pilar AEC,
namun iklim pasar yang stabil dan kondusif juga menjadi peranan yang penting
bagi APSC, pilar ini harus meyuguhkan regulasi yang tidak menghambat
perkembangan pasar dan mampu memberikan ruang yang aman dalam distribusi
informasi, barang, dan jasa bagi komunitas. Dengan iklim pasar yang aman dan
regulasi yang komperehensif diharapkan perekonomian, bukan saja perekonomian
berbasis digital, mampu menciptakan pasar yang berkelanjutan. APSC juga
berperan penting untuk menjaga keamanan bagi komunitas di kawasan dalam hal ini
terkait dengan perkembangan Masyarakat Sosial Budaya. Kejahatan lintas batas
negara, terorisme, misalnya, secara tidak langsung juga menjadi ancaman
terhadap kultur-kultur yang sangat hetergoen di kawasan Asia Tenggara yang
sudah dijaga berabad-abad sebagai warisan dunia. Menjadi begitu penting, sebab
kehidupan sosial dan kebudayaan adalah peradaban manusia yang harus dijaga dan
dilestarikan. Kesadaran akan pentinganya rasa memiliki bersama akan budaya
kiranya membawa Korea Utara dan Korea Selatan berada dalam panggung yang sama
untuk memperjuangkan eksitensinya di kancah olahraga dunia, ASIAN Games 2018.
Namun
hal yang paling mendasar adalah kesadaran seluruh Masyarakat Komunitas ASEAN
bahwa kita sedang menghadapi tantangan dalam perkembangan proses globalisasi. Masyarakat
juga harus berperan aktif terlibat secara langsung maupun tidak langsung yaitu
dengan mempromosikan agenda kerja sama komunitas ASEAN.
***
Komentar
Posting Komentar