Para pakar ekonomi
ADBI juga memberikan penjelasan ilmiahnya mengenai penyebab terjadinya MIT;
berikut beberapa argumen yang diberikan oleh para pakar ekonomi:
1.
Struktur
demografi (rasio ketergantungan)
2.
Komposisi ekspor
yang didominasi produk dengan value chain
yang rendah
3.
Pasar keuangan
yang tidak memadai (akses ke pinjaman yang rendah, venture capital yang tidak
berkembang)
4.
Infrastruktur
yang tertinggal (transportasi dan logistik, telepon serta listrik)
5.
Tingkat inovasi
yang rendah (dana R&D rendah, kerja sama riset antara swasta dan publik
lemah)
6.
Institusi yang
lemah(hak pemilikan, sistem hukum dan jaminan kontrak)
7.
Pasar tenaga
kerja yang tidak efisien (kebebasan penentuan tingkat upah dan pemutusan
hubungan /kontrak kerja)
Penjelasan
argumentatif dari kriteria dan penyebab di atas sangat sistematis, taktis, dan
pragmatis dalam melihat wawasan dunia ekonomi. Namun bagi studi Hubungan
Internasional pernyataan-pernyataan di atas jelas menjadi sangat sulit untuk
dipahami dalam rangka melihat dunia secara utuh. Penjelasan atas dimensi
ekonomi dalam Hubungan Internasional merupakan analisis-kausal, analisis atas
proses-proses yang berhubungan sebab-akibat untuk menemukan hukum-hukum alam,
istilah lain untuk eksplanasi tersebut adalah Erklären. Erklären
selalu mengambil jarak terhadap
objeknya sehingga hanya mengetahui dari sisi permukaan saja dari objeknya.
Sedangkan
untuk memahami studi Hubungan Internasional tidak bisa hanya melihat satu muka
saja terhadap objeknya. Perlu upaya empati, dan empati bisa dilakukan dengan
masuk ke dalam dunia mental objeknya dan tidak mengambil jarak terhadapnya
untuk memahami makna sesungguhnya, istilah untuk definisi ini adalah Verstehen atau penghayatan. Pada
penjelasan MIT di atas sebagai penstudi Hubungan Internasional tentu saja tidak
akan bisa menerima begitu saja penjelasan yang diberikan oleh para pakar
ekonomi. Karena studi Hubungan Internasional multi disiplin ilmu (ekonomi,
sosial, politik, budaya, dst.) yang akan menemui titik terdekat prediksi valid
akar masalah, dengan menggunakan metode Verstehen.
Jika
kita boleh bersepakat mengenai tesis MIT, artinya negara mengalami kegagalan
untuk keluar dari polemik tersebut. Polemik: negara yang berpenghasilan
menengah kesulitan untuk menuju ke kategori negara dengan pendapatan tinggi dan
di sisi lain mendapat desakan dari negara dengan kategori pendapatan rendah.
Kita bisa melihat literatur lain (sebagai pelengkap) untuk memahami apa yang
sebenarnya terjadi dengan fenomena tersebut. Amy Chua – World on Fire: How Exporting
Free Market Democracy Breeds Ethnic Hatred and Global Instability,
misalnya. Amy Chua melihat dampak demokrasi di negara-negara berkembang
dengan perspektif yang bernada pesimistik meskipun tidak memberikan jalan
keluar yang jelas bagaimana mengatasi masalah yang dikemukakannya. Dalam buku
ini, Amy Chua menguraikan secara gamblang bagaimana penerapan demokrasi free-market democracy di negara
berkembang membangkitkan kebencian etnis dan ketidakstabilan secara global. Amy
Chua mengawali argumen dengan mengatakan bahwa kapitalisme pasar bebas telah
menciptakan market-dominant minorities
seperti warga keturunan China di Indonesia, kulit putih Afrika Selatan,
keturunan India di Afrika Timur dan keturunan Yahudi di Rusia. Ketika rezim
otoriter atau totaliter di negara-negara ini digantikan oleh rezim yang
demokratis dan dalam proses tersebut terjadi political enfranchisment dari mayoritas penduduk miskin, maka
tuntutan utama mereka adalah redistribusi sumberdaya ekonomi yang pada
gilirannya mengancam property rights dari
market-dominant minorities. Lebih
jauh dari itu, ledakan liberalisasi politik
yang terjadi menciptakan konflik dan kekerasan etnis sebagai pelampiasan
kemarahan dari penduduk mayoritas terhadap kaum minoritas yang mendominasi
ekonomi.
Amy
Chua menjelaskan kerusuhan anti warga keturunan China di Indonesia pada bulan
Mei 1998 dalam konteks ini. Menurut pengakuannya Amy Chua sesungguhnya tidak
anti-demokrasi atau anti-globalisasi, tetapi dalam pengamatan beliau
demokratisasi seperti yang terjadi di
Indonesia pasca Soeharto di mana penegakkan hukum lemah dan korupsi tetap
merajalela hanya akan menimbulkan situasi anarkis yang dimanfaatkan oleh elit
politik yang tidak bertanggungjawab untuk mengeksploitasi sentimen etnis dan
primordial lainnya.
Memperkenalkan
demokrasi dalam situasi seperti ini tidak mengubah pemilih menjadi pemilih yang
berpikiran terbuka di komunitas nasional. Sebaliknya, persaingan untuk memilih
mendorong munculnya demagog yang mengkambinghitamkan minoritas dan mendorong
gerakan etnonasionalis aktif yang menuntut agar kekayaan dan identitas negara
tersebut direklamasi oleh “pemilik sejati bangsa.”
Intinya
adalah ini. Di banyak negara di dunia yang memiliki kemiskinan yang meluas dan
minoritas yang dominan di pasar, demokrasi dan pasar — setidaknya dalam bentuk
di mana mereka dipromosikan saat ini — hanya dapat berjalan dalam ketegangan
satu sama lain. Dalam kondisi seperti itu, upaya gabungan pasar bebas dan
demokratisasi telah berulang kali memicu konflik etnis dengan cara yang sangat mudah
diprediksi, dengan konsekuensi bencana, termasuk kekerasan genosida dan
subversi pasar dan demokrasi sendiri. Ini telah menjadi pelajaran serius
globalisasi selama dua puluh tahun terakhir.
Tentu
saja masih banyak disiplin ilmu yang membahas secara dalam bentuk-bentuk
kegagalan suatu negara. Artinya, bahwa memahami studi Hubungan Internasional
tidak bisa menggunkan satu aspek disiplin ilmu saja. Hubungan Internasional
mencakup dimensi multi disiplin ilmu yang saling bertautan.
Ruang gerak Ilmu alam dalam studi hubungan
internasional
“Alangkah
berbedanya (gagasan atau idea dan tindakan) ungkapan penghayatan (ekspresi
pengalaman hidup) itu! Sebuah hubungan khusus ada diantaranya sebagai ekspresi
hidup itu sendiri dan pemahaman. Penghayatan dapat mencakup lebih banyak
konteks hidup dalam daripada intropeksi apapun, karena penghayatan muncul di luar kedalaman di mana kesadaran tidak
pernah tercerahkan” - Dilthey
Seperti
sudah disinggung sebelumnya bahwa ruang gerak argumentatif ilmiah dari disiplin
ilmu alam sangat sempit untuk memahami dinamika Hubungan Internasional yang
begitu kompleks. Empati dan dunia mental dari dinamika Hubungan Internasional
hanya bisa dipahami dan dihayati oleh Verstehen.
Artinya, bahwa Geisteswissenschaften sebagai
ilmu sosial-kemanusiaan berdiri di atas lutut yang kokoh sebagai fondasi studi
Hubungan Internasional karena memiliki ruang gerak pemahaman argumentatif yang
luas dan dalam. Penjelasan ini sekaligus kritik terhadap dominasi ilmu alam
yang hendak menggeneralisir multi disiplin ilmu yang begitu kompleks dalam
studi Hubungan Internasional.
Kesimpulan
Kompleksitas dari dinamika Hubungan
Internasional membawa kita pada pemahaman yang lebih luas untuk mencari
pendekatan yang komperehensif. Hal ini tidak bisa dipahami hanya dari
penjelasan ilmiah yang bersifat singular atau argumentatif yang parsial seperti
pada studi kasus Jebakan Negara Menengah atau Middle Income Trap dari para pakar ekonomi di Asian Development
Bank Institute (ADBI). Geisteswissenschaften atau ilmu sosial-kemanusiaan secara ketat dan
setia menyajikan metode pemahaman yang lebih dalam pada studi Hubungan
Internasional dengan bertransposisi untuk mengetahui sisi dalam objek dan masuk
ke dalam dunia mentalnya, yang tidak mengambil jarak daripadanya atau berempati
pada kompleksitas dari dinamika Hubungan Internasional itu sendiri. Melalui penghayatan,
ekspresi dan pemahaman, Geisteswissenschaften
Wilhelm Dilthey menjadi fondasi yang kokoh untuk memahami studi Hubungan
Internasional.
***
Komentar
Posting Komentar