Halo Desember

Gambar
  Baru saja selesai mencicil pekerjaan. Lumayan lega rasanya meskipun masih belum selesai semuanya setidaknya bisa mengurangi. Tentu aku tidak akan menceritakan mengenai pekerjaanku. Tepat, sekarang pukul 00.00 masuk bulan Desember. Detik ini mulai dengan 1 Desember 2021. Sebelum aku menulis kesana kemari, aku hanya ingin mengucap syukur atas apa yang sudah berani aku jalani, terlewati. Ya, meskipun masih terasa sakit rasanya luka ini tapi setidaknya ia mampu bersahabat dengan waktu untuk terus berjalan, melanjutkan hidup. Terima kasih, luka, sudah menemaniku sejauh ini. Terima kasih waktu sudah mengizinkanku untuk merasakannya. Terima kasih untuk diri sendiri meskipun aku tahu perihnya saat ini yang masih harus aku tanggung tapiiiii semua akan berlalu. Mungkin besok saat aku bangun tidur? Atau lusa saat aku pulang ke ruang sepi? Minggu depan? Bulan depan, saat lantunan piano Holy Night mulai sering terdengar? Tahun depan? Tahun depannya lagi? Entahlah, kapanpun itu, silakan atur saja

Geisteswissenschaften Wilhelm Dilthey sebagai Fondasi Studi Hubungan Internasional


Abstrak
            Hubungan Internasional merupakan multi disiplin ilmu. Bagian penting dari disiplin Hubungan Internasional seperti studi Politik Global dalam beberapa tahun belakangan ini mengalami perubahan yang pesat sejalan dengan munculnya berbagai isu global yang sifatnya lintas batas negara. Posisi Geisteswissenschaften sebagai fondasi untuk menjaga nilai-nilai sosial kemanusiaan mempunyai dasar relevansi yang kuat bagi studi Hubungan Internasional. Dalam studi Hubungan Internasional ilmu kemanusiaan kadang-kadang akan menjadikan objek yang sama atau “fakta” yang sama seperti yang dipakai dalam ilmu alam, namun dalam konteks yang berbeda, di mana pemikir studi Hubungan Internasional mengacu pada pengalaman dalam manusia. Artinya, bahwa memahami studi Hubungan Internasional tidak bisa menggunkan satu aspek disiplin ilmu saja. Hubungan Internasional mencakup dimensi multi disiplin ilmu yang saling bertautan. Melalui penghayatan, ekspresi dan pemahaman, Geisteswissenschaften Wilhelm Dilthey menjadi fondasi yang kokoh untuk memahami studi Hubungan Internasional.



Keyword: Geisteswissenschaften, multi disiplin ilmu, ilmu kemanusiaan.



Latar Belakang: Hubungan Internasional dalam pendekatan Ilmu Kemanusiaan versus Ilmu Alam
HI adalah singkatan bagi subjek akademis hubungan internasional yang dapat didefinisikan sebagai studi hubungan internasional antara negara-negara, termasuk aktivitas dan kebijakan pemerintah, organisasi internasional, organisasi non pemerintah dan perusahaan multinasional. Studi hubungan internasional dapat berupa subjek teoritis, dan subjek praktis atau subjek kebijakan, dan pendekatan akademis terhadapnya dapat bersifat empiris atau normatif atau bahkan keduanya. Hubungan Internasional sering dianggap sebagai cabang ilmu politik, tetapi juga merupakan subjek yang dipelajari pakar sejarah (sejarah internasional atau sejarah diplomatik), dan pakar ekonomi (ekonomi internasional) HI juga merupakan bidang studi legal (hukum internasional publik) dan bidang filsafat (etika internasional).
Kata kunci bagi ilmu kemanusiaan diyakini Dilthey sebagai “pemahaman”. Penjelasan adalah milik sains, namun pendekatan terhadap fenomena yang menyatukan unsur dalam dan unsur luarnya adalah pemahaman.[1] Bagian penting dari disiplin Hubungan Internasional seperti studi Politik Global dalam beberapa tahun belakangan ini mengalami perubahan yang pesat sejalan dengan munculnya berbagai isu global yang sifatnya lintas batas negara. Dari perspektif yang lebih luas di atas, Hubungan Internasional jelas merupakan inquiry (riset empiris).[2] Sains menjelaskan alam, ilmu kemanusiaan memahami ekspresi hidup. Seperti sudah dijelaskan di atas bahwa begitu banyak cabang ilmu dalam Hubungan Internasional maka tanggung jawab sains di sini adalah harus mampu menjelaskan hubungan-hubungan dengan menggunakan riset empiris yang saling berkelindan dalam cabang ilmu tersebut kemudian tugas ilmu kemanusiaan harus mampu memahami ekspresi hidup dari fenomena dan perubahan dinamika berbagai cabang ilmu dalam studi Hubungan Internasional.
Dalam Ilmu Hubungan Internasional cabang ilmu politik mempunyai kandungan beragam makna tergantung pada perspektif yang digunakan. Menurut perspektif realisme politik adalah pertarungan untuk meraih atau mempertahankan kekuasaan dan dominasi. Sedangkan menurut perspektif liberal atau pluralis politik adalah pengorganisasian kekuasaan untuk menjamin dan mempromosikan kebebasan dan kesejahteraan individu atau kelompok melalui penegakan hukum. Perspektif marxisme melihat politik sebagai pelembagaan kekuasaan (negara) yang dijadikan instrumen oleh kelas kapitalis untuk mengeksploitasi kelas buruh. Polemik proses globalisasi pun akhirnya turut menyumbang warna substansi studi politik global maupun metodologi yang digunakan untuk produksi keilmuan.[1] Ilmu-ilmu alam modern memandang negara dan masyarakat melulu dari sisi lahiriah dan materialnya yang bisa diperhitungkan secara objektif dan mekanistik. Positivisme, adalah aliran yang berkeyakinan bahwa sejarah bergerak menurut hukum-hukum atau mekanisme objektif seperti terdapat dalam alam.[1]
Perbedaan antara ilmu sosial (kemanusiaan) dan ilmu alam pada studi Hubungan Internasional dengan begitu tidaklah terletak pada objek yang berbeda dalam ilmu manusia atau pada bentuk yang berbeda dari persepsi manusia; perbedaan esensial terletak pada konteks mana obyek yang diyakini itu dipahami. Mari lihat diskursus yang akan membuat kita harus waspada pada fakta bahwa negara berdaulat merupakan konsep teoritis yang diperdebatkan. Apakah negara itu? Apakah sistem negara itu? Akan terdapat jawaban yang berbeda tergantung pada pendekatan teoritis yang dipakai; jawaban kaum realis akan berbeda dengan kaum liberal, dan jawaban-jawaban tersebut akan berbeda dengan jawaban dari kaum masyarakat internasional dan jawaban yang diberikan dari kaum teoristis Ekonomi Politik Global. Tak satu pun dari jawaban-jawaban ini yang benar-benar berbicara apakah betul atau salah sebab yang benar adalah: negara merupakan suatu entitas yang berwajah banyak dan agak membingungkan. Ada konsep yang berbeda tentang negara. Oleh karena itu, sistem negara bukan suatu subjek yang mudah dipahami dan akan dapat dipahami dengan cara yang berbeda dan dengan titik penekanan yang berbeda pula.
Dalam studi Hubungan Internasional ilmu kemanusiaan kadang-kadang akan menjadikan objek yang sama atau “fakta” yang sama seperti yang dipakai dalam ilmu alam, namun dalam konteks yang berbeda, di mana pemikir studi Hubungan Internasional mengacu pada pengalaman dalam manusia. Ketiadaan acuan kepada pengalaman manusia merupakan karakteristik ilmu alam; keberadaan acuan kepada kehidupan dalam manusia merupakan ciri khas ilmu kemanusiaan. Perbedaan ilmu alam dan ilmu sosial (kemanusiaan) dalam studi Hubungan Internasional secara fundamental tidak ditentukan oleh cara pengetahuan khusus namun dibedakan berdasarkan kandungannya.[1]

Geisteswissenschaften menjaga nilai-nilai sosial studi Hubungan Internasional
Geisteswissenschaften – yaitu, semua ilmu sosial dan kemanusiaan, semua disiplin yang menafsirkan ekspresi-ekspresi “kehidupan batin manusia”, baik dalam bentuk ekspresi isyarat (sikap), perilaku historis, kodifikasi hukum, karya seni atau sastra.[1] Wilhelm Dilthey (1822-1911) yang melihat disiplin ilmu ini sebagai fondasi Geisteswissenschaften.  
Posisi Geisteswissenschaften sebagai fondasi untuk menjaga nilai-nilai sosial kemanusiaan mempunyai dasar relevansi yang kuat bagi studi Hubungan Internasional. Motivasi ini tentu bukan datang dari kevakuman belaka dalam memahami prinsip-prinsip studi Hubungan Internasional. Tujuannya adalah untuk mengembangkan metode memperoleh interpretasi objektivitas yang valid dan ekspresi kehidupan batin. Posisi ini muncul sebagai reaksi keras terhadap kecenderungan studi manusia yang secara picik mengadopsi norma-norma dan cara berpikir dari ilmu alam dan menggunakannya untuk studi manusia. Para pemikir seperti ini adalah pemikir positivist yang mendeterminasi bahwa pengalaman konkret, dan bukan spekulasi harus menjadi titik tolak yang memungkinkan dapat diterima sebagai teori  Geisteswissenschaften. Bagi Dilthey, ada ilmu-ilmu yang tidak bisa digeneralisir begitu saja. Manusia, hidup dalam dunia psikologi dan fisiologi, keduanya menempati objek yang sama yaitu manusia. Menurut Dilthey, metode justifikasi rasional Comte tidak mempunyai tempat untuk bisa diterima dalam upaya menjelaskan dua ilmu (psikologi dan fisiologi) dalam satu objek.
Memahami studi Hubungan Internasional paling sedikit harus memperhatikan nilai-nilai dasar sosial yang harus (kita harapkan) dijaga oleh negara: keamanan, kebebasan, ketertiban, keadilan, dan kesejahteraan. Geisteswissenschaften sangat kuat kohesinya untuk memahami dan menjaga nilai-nilai dasar sosial tersebut karena nilai-nilai tersebut sangat fundamental bagi manusia yang harus dilindungi dan dijaga dengan cara apapun. Untuk menjaga nilai-nilai sosial tersebut bisa dilakukan oleh organisasi sosial selain negara, contohnya dalam lingkup paling kecil, keluarga, klan, etnis atau organisasi keagamaan, desa-desa atau kota. Namun demikian, di zaman modern, negara biasanya menjadi aktor terdepan dalam hal tersebut: negara diharapkan menjamin nilai-nilai dasar sosial di atas.
Sebagai fokus diskusi dan menjaga pembahasan dalam sub tema ini supaya tidak melebar maka kita akan fokus pada pemahasan nilai-nilai dasar sosial di atas. Nilai dasar yang pertama, keamanan yang merupakan perhatian atau kepentingan fundamental negara-negara.  Kita hidup dalam dunia banyak negara, keberadaan negara-negara merdeka sangat berpengaruh terhadap nilai keamanan dan hampir semuanya dipersenjatai paling tidak beberapa tingkatan dan sebagian di antaranya adalah kekuatan militer utama. Salah satu program paling mudah untuk mengidentifikasi, selain jumlah alutsista, di negara-negara yang berfokus pada sistem keamanan adalah program wamil atau wajib milter. Program wamil yang pertama kali dilakukan oleh pemerintah Perancis pada masa Revolusi Perancis. Semasa itu, seluruh pria Perancis harus bergabung dengan Angkatan Darat Perancis. Untuk saat ini program wamil menjadi kontroversional, adanya penolakan terutama untuk melayani pemerintahan yang tidak disukai dan menganggap program  ini termasuk pelanggaran hak individual. Posisi Indonesia hanya mengenal program ini dalam konstitusi tapi tidak mewajibkan. Beberapa negara Asia lain yang menjalankan program wamil: Korea Utara, Korea Selatan, Malaysia, Iran, Israel, dan Thailand.
Konsep negara di atas kita kenal dengan pendekatan realist. Konsep ini mengatakan bahwa apa yang dianggap sebagai keseimbangan kekuatan oleh suatu negara sesungguhnya mengandung arti bahwa negara tersebut sudah merasa aman dengan kekuatannya dan bahkan unggul dari negara lain sehingga muncul klaim bahwa kondisinya tidak boleh diubah.[1] Namun persepsi tersebut yang menganggap sebagai balance of power memunculkan dilema keamanan yang tidak ada ujungnya karena memicu negara lain termotivasi meningkatkan kapasitas kekuatan militernya, terbukti dengan kemunculan isu-isu kemanan baru seperti nuclear deterrence, isu senjata biologis pemusnah massal, space army, nuclear submarine, dst.
Nilai dasar kedua yang biasanya kita harapkan ditegakkan oleh nagara adalah kebebasan, baik kebebasan pribadi maupun kebebasan nasional atau kemerdekaan. Wajib pajak atau  wajib militer yang dibebankan rakyat untuk negara merupakan kondisi kebebasan negara untuk meningkatkan keberadaannya. Konsep ini paling sering dicirikan untuk pemikir teori liberal Hubungan Internasional. Ciri yang mudah diamati adalah asumsi bahwa hubungan internasional adalah bentuk dunia di mana negara-negara saling bekerja sama  satu sama lain untuk memelihara perdamaian dan kebebasan serta mengejar perubahan progresif.[1]
Nilai dasar yang ketiga dan keempat, ketertiban dan keadilan. Negara-negara harus memegang komitmen bersama yang telah disepakati. Negara-negara memiliki kepentingan bersama dalam membangun dan memelihara ketertiban internasional sehingga dapat hidup bersama dan berdampingan dan berinteraksi atas dasar stabilitas dan kepastian. Dengan tujuan tersebut diharapkan negara-negara mampu menegakkan hukum internasional untuk menjaga perjanjian dan mematuhi aturan dan konvensi. Para aktor juga diharapkan mengikuti praktik-praktik diplomasi yang telah diterima dan mendukung organisasi internasional. Hukum internasional, hubungan diplomatik, dan organisasi internasional hanya dapat berjalan dengan baik jika harapan-harapan tersebut disadari sepenuhnya oleh seluruh aktornya. Inilah yang menjadi kekhasan para pemikir teori Masyarakat Internasional dalam Hubungan Internasional. Ciri dari konsep ini adalah negara-negara secara sosial merupakan aktor yang bertanggung jawab dan memiliki kepentingan bersama dalam memelihara ketertiban internasional dan memajukan keadilan internasional.
Nilai dasar yang terakhir yang seharusnya ditegakkan oleh negara adalah kesejahteraan dan kekayaan sosial-ekonomi warga negara. Harapan bagi masyarakat adalah bahwa pemerintah (negara) hadir menjalankan kebijakan yang tepat dalam menyediakan banyak lapangan pekerjaan, inflasi yang rendah, iklim investasi yang stabil, pergerakan perdagangan dan komersial yang tidak terganggu, dst.  Pada pemahaman ini lebih dicirikan oleh para pemikir teori Ekonomi Politik Internasional (EPI) dalam studi Hubungan Internasional.
Telaah singkat dari nilai-nilai dasar sosial di atas kiranya membuat Geisteswissenschaften mempunyai ruang gerak lebih luas untuk memahami dinamika hubungan internasional ketimbang penjelasan ilmiah dari ilmu alam yang mendasarkan literaturnya pada hasil yang konkret. Negara, hukum, sistem negara, adat istiadat, seni, komunitas sosial, dst. bukan merupakan realitas-realitas objektif yang bisa dijelaskan dengan menggunakan metode ilmu alam, melainkan realitas-realitas (sosial kemanusiaan) yang diobjektifkan yang dalam istilah Dilthey adalah “dunia yang dikonstruksi pikiran yang timbul dari penghayatan”.[1]

Studi Kasus
Dinamika Politik Global: Jebakan Negara Menengah (Middle Income Trap)
Sub tema ini mencoba menajamkan opini atas dasar Geisteswissenschaften yang mempunyai ruang gerak lebih luas dan dalam untuk memahami studi Hubungan Internasional dengan mengambil (satu dari sekian banyak) analisis dari penjelasan tentang Tantangan Menjadi Negara Maju: Jebakan Negara Menengah (Middle Income Trap/MIT). Asian Development Bank Institute (ADBI) pada bulan Juli 2017 telah merilis ADBI Working Paper Series no. 760 dengan judul “Middle-Income Trap: Review of the Conceptual Framework” yang di tulis oleh Kamil Pruchnik dan Jakub Zowczak.[1]
Paper tersebut mencoba menjelaskan bagaimana para pakar ekonomi memberikan argumentasi ilmiah mengenai dilema dan problematika bagi negara-negara dalam kategori menengah. Studi serupa juga dapat dengan mudah kita temukan pada para pemikir dalam dimensi ekonomi yang tergabung dalam komunitas sosial non-negara seperti World Economic Forum, World Bank, IMF, dst. Standarisasi yang digunakan sebagai parameter pengukuran untuk mengklasifikasikan negara masuk ke kelompok tiers atas (pertama), menengah (kedua), bawah (ketiga), dst. tentu juga beragam dari masing-masing institusi. Sebagai contoh ADBI, bagi negara yang masuk dalam kategori pendapatan menengah dan berusaha untuk menjadi negara dengan kategori pendapatan tinggi harus mampu:
  1.       Memiliki GDP/kapita $5.000 – $10.000
  2.       Tingkat pertumbuhan ekonomi <3,5% selama 30 tahun – tidak fluktuatif
  3.        Perbandingan GDP/kapita terhadap Amerika Serikat 5% - 45%
  4.       Butuh tumbuh 4,8% per tahun selama 28 tahun di pendapatan menengah bawah ($2.000 - $7.500) – tidak fluktuatif.
  5.       Butuh tumbuh 3,5% per tahun selama 14 tahun di pendapatan menengah atas ($7.500 - $11.500) – tidak fluktuatif.
Para pakar ekonomi ADBI juga memberikan penjelasan ilmiahnya mengenai penyebab terjadinya MIT; berikut beberapa argumen yang diberikan oleh para pakar ekonomi:
1.      Struktur demografi (rasio ketergantungan)
2.      Komposisi ekspor yang didominasi produk dengan value chain yang rendah
3.      Pasar keuangan yang tidak memadai (akses ke pinjaman yang rendah, venture capital yang tidak berkembang)
4.      Infrastruktur yang tertinggal (transportasi dan logistik, telepon serta listrik)
5.      Tingkat inovasi yang rendah (dana R&D rendah, kerja sama riset antara swasta dan publik lemah)
6.      Institusi yang lemah(hak pemilikan, sistem hukum dan jaminan kontrak)
7.      Pasar tenaga kerja yang tidak efisien (kebebasan penentuan tingkat upah dan pemutusan hubungan /kontrak kerja)
Penjelasan argumentatif dari kriteria dan penyebab di atas sangat sistematis, taktis, dan pragmatis dalam melihat wawasan dunia ekonomi. Namun bagi studi Hubungan Internasional pernyataan-pernyataan di atas jelas menjadi sangat sulit untuk dipahami dalam rangka melihat dunia secara utuh. Penjelasan atas dimensi ekonomi dalam Hubungan Internasional merupakan analisis-kausal, analisis atas proses-proses yang berhubungan sebab-akibat untuk menemukan hukum-hukum alam, istilah lain untuk eksplanasi tersebut adalah Erklären. Erklären selalu mengambil jarak terhadap objeknya sehingga hanya mengetahui dari sisi permukaan saja dari objeknya.
Sedangkan untuk memahami studi Hubungan Internasional tidak bisa hanya melihat satu muka saja terhadap objeknya. Perlu upaya empati, dan empati bisa dilakukan dengan masuk ke dalam dunia mental objeknya dan tidak mengambil jarak terhadapnya untuk memahami makna sesungguhnya, istilah untuk definisi ini adalah Verstehen atau penghayatan. Pada penjelasan MIT di atas sebagai penstudi Hubungan Internasional tentu saja tidak akan bisa menerima begitu saja penjelasan yang diberikan oleh para pakar ekonomi. Karena studi Hubungan Internasional multi disiplin ilmu (ekonomi, sosial, politik, budaya, dst.) yang akan menemui titik terdekat prediksi valid akar masalah, dengan menggunakan metode Verstehen.
Jika kita boleh bersepakat mengenai tesis MIT, artinya negara mengalami kegagalan untuk keluar dari polemik tersebut. Polemik: negara yang berpenghasilan menengah kesulitan untuk menuju ke kategori negara dengan pendapatan tinggi dan di sisi lain mendapat desakan dari negara dengan kategori pendapatan rendah. Kita bisa melihat literatur lain (sebagai pelengkap) untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi dengan fenomena tersebut. Amy Chua – World on Fire: How Exporting Free Market Democracy Breeds Ethnic Hatred and Global Instability[1], misalnya. Amy Chua melihat dampak demokrasi di negara-negara berkembang dengan perspektif yang bernada pesimistik meskipun tidak memberikan jalan keluar yang jelas bagaimana mengatasi masalah yang dikemukakannya. Dalam buku ini, Amy Chua menguraikan secara gamblang bagaimana penerapan demokrasi free-market democracy di negara berkembang membangkitkan kebencian etnis dan ketidakstabilan secara global. Amy Chua mengawali argumen dengan mengatakan bahwa kapitalisme pasar bebas telah menciptakan market-dominant minorities seperti warga keturunan China di Indonesia, kulit putih Afrika Selatan, keturunan India di Afrika Timur dan keturunan Yahudi di Rusia. Ketika rezim otoriter atau totaliter di negara-negara ini digantikan oleh rezim yang demokratis dan dalam proses tersebut terjadi political enfranchisment dari mayoritas penduduk miskin, maka tuntutan utama mereka adalah redistribusi sumberdaya ekonomi yang pada gilirannya mengancam property rights dari market-dominant minorities. Lebih jauh dari itu, ledakan liberalisasi politik  yang terjadi menciptakan konflik dan kekerasan etnis sebagai pelampiasan kemarahan dari penduduk mayoritas terhadap kaum minoritas yang mendominasi ekonomi.
Amy Chua menjelaskan kerusuhan anti warga keturunan China di Indonesia pada bulan Mei 1998 dalam konteks ini. Menurut pengakuannya Amy Chua sesungguhnya tidak anti-demokrasi atau anti-globalisasi, tetapi dalam pengamatan beliau demokratisasi  seperti yang terjadi di Indonesia pasca Soeharto di mana penegakkan hukum lemah dan korupsi tetap merajalela hanya akan menimbulkan situasi anarkis yang dimanfaatkan oleh elit politik yang tidak bertanggungjawab untuk mengeksploitasi sentimen etnis dan primordial lainnya.
Memperkenalkan demokrasi dalam situasi seperti ini tidak mengubah pemilih menjadi pemilih yang berpikiran terbuka di komunitas nasional. Sebaliknya, persaingan untuk memilih mendorong munculnya demagog yang mengkambinghitamkan minoritas dan mendorong gerakan etnonasionalis aktif yang menuntut agar kekayaan dan identitas negara tersebut direklamasi oleh “pemilik sejati bangsa.”
Intinya adalah ini. Di banyak negara di dunia yang memiliki kemiskinan yang meluas dan minoritas yang dominan di pasar, demokrasi dan pasar — setidaknya dalam bentuk di mana mereka dipromosikan saat ini — hanya dapat berjalan dalam ketegangan satu sama lain. Dalam kondisi seperti itu, upaya gabungan pasar bebas dan demokratisasi telah berulang kali memicu konflik etnis dengan cara yang sangat mudah diprediksi, dengan konsekuensi bencana, termasuk kekerasan genosida dan subversi pasar dan demokrasi sendiri. Ini telah menjadi pelajaran serius globalisasi selama dua puluh tahun terakhir.
Tentu saja masih banyak disiplin ilmu yang membahas secara dalam bentuk-bentuk kegagalan suatu negara. Artinya, bahwa memahami studi Hubungan Internasional tidak bisa menggunkan satu aspek disiplin ilmu saja. Hubungan Internasional mencakup dimensi multi disiplin ilmu yang saling bertautan.

Ruang gerak Ilmu alam dalam studi hubungan internasional
“Alangkah berbedanya (gagasan atau idea dan tindakan) ungkapan penghayatan (ekspresi pengalaman hidup) itu! Sebuah hubungan khusus ada diantaranya sebagai ekspresi hidup itu sendiri dan pemahaman. Penghayatan dapat mencakup lebih banyak konteks hidup dalam daripada intropeksi apapun, karena penghayatan muncul  di luar kedalaman di mana kesadaran tidak pernah tercerahkan” - Dilthey[1]
Seperti sudah disinggung sebelumnya bahwa ruang gerak argumentatif ilmiah dari disiplin ilmu alam sangat sempit untuk memahami dinamika Hubungan Internasional yang begitu kompleks. Empati dan dunia mental dari dinamika Hubungan Internasional hanya bisa dipahami dan dihayati oleh Verstehen. Artinya, bahwa Geisteswissenschaften sebagai ilmu sosial-kemanusiaan berdiri di atas lutut yang kokoh sebagai fondasi studi Hubungan Internasional karena memiliki ruang gerak pemahaman argumentatif yang luas dan dalam. Penjelasan ini sekaligus kritik terhadap dominasi ilmu alam yang hendak menggeneralisir multi disiplin ilmu yang begitu kompleks dalam studi Hubungan Internasional.

Kesimpulan
            Kompleksitas dari dinamika Hubungan Internasional membawa kita pada pemahaman yang lebih luas untuk mencari pendekatan yang komperehensif. Hal ini tidak bisa dipahami hanya dari penjelasan ilmiah yang bersifat singular atau argumentatif yang parsial seperti pada studi kasus Jebakan Negara Menengah atau Middle Income Trap dari para pakar ekonomi di Asian Development Bank Institute (ADBI).  Geisteswissenschaften  atau ilmu sosial-kemanusiaan secara ketat dan setia menyajikan metode pemahaman yang lebih dalam pada studi Hubungan Internasional dengan bertransposisi untuk mengetahui sisi dalam objek dan masuk ke dalam dunia mentalnya, yang tidak mengambil jarak daripadanya atau berempati pada kompleksitas dari dinamika Hubungan Internasional itu sendiri. Melalui penghayatan, ekspresi dan pemahaman, Geisteswissenschaften Wilhelm Dilthey menjadi fondasi yang kokoh untuk memahami studi Hubungan Internasional.
***


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bentuk Kekerasan Atas Nama Agama (Terorisme) dan Upaya Rekonsiliasi

Halo Desember

Seni Memahami: Hermeneutik Schleiermacher dan Dilthey (1)