Transportasi
menjadi salah satu instrumen penting dalam kemajuan suatu kota. Dengan tata
kelola moda transportasi yang baik, moving
people connecting communities menjadi semakin efisien dan efektif.
Sirkulasi perekonomian juga menjadi semakin cepat, hal ini tentu sangat
diharapkan oleh masyarakat metropolitan khususnya dan masyarakat yang lebih
luas pada umumnya.
Bukan hanya sirkulasi perekonomian saja yang mengalami
perubahan tetapi hampir menyentuh semua aspek sosial, seperti layanan kesehatan
dan jasa. Jakarta merupakan kota kosmopolitan yang begitu padat mobilitas
manusia, barang, dan jasa haruslah di topang dengan infrastruktur yang kuat
guna memberikan ruang gerak yang masif dan cepat.
Meskipun
Jakarta sudah memiliki moda transportasi masal seperti Kereta Rel Listrik
(KRL), Transjakarta, dan Mass Rapid
Transit (MRT) atau Moda Raya Terpadu
yang baru saja diresmikan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada tanggal 24
Maret 2019 yang diharapkan mampu untuk mengurangi kemacetan dan memperlancar
distribusi perekonomian sesuai dengan Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 84 Tahun 2004 tentang Penetapan Pola Transportasi Makro di Provinsi DKI Jakarta Bab
III Pasal 3 poin b dan e, “Memasyarakatkan Sistem Angkutan Umum Massal dan
Menambah Jaringan Primer, Busway, dan Subway” Mass Rapid Transit ini merupakan bagian dari strategi pemerintah
Jakarta guna mengurai masalah kemacetan
di ibu kota, namun kendala utama yang memperlambat arus mobilitas manusia,
barang, dan jasa yakni kemacetan masih menjadi pekerjaan rumah yang perlu dibenahi.
Total kerugian yang diakibatkan kemacetan di DKI Jakarta, Bogor, Depok, dan
Bekasi (Jabodetabek) sebesar Rp 65 Triliun (Kompas,
13 Februari 2019). Sedangkan biaya untuk membangun angkutan umum massal seperti
MRT atau Light Rail Transit (LRT)
masih lebih murah jika dibandingkan dengan beban kerugian yang ditanggung
akibat kemacetan.
Sebagai informasi, biaya untuk pembangunan MRT Fase I dengan
rute Bundaran HI – Lebak Bulus sepanjang 16 km menghabiskan dana Rp. 16
triliun, sedangkan pembangunan LRT Jabodetabek dibangun dengan total biaya Rp.
20,752 triliun untuk rute sepanjang 44,3 km.
LRT
Jakarta dibangun dengan integritas yang tinggi dengan menyediakan fasilitas
berstandar internasional. Selain fasilitas dengan standar internasional, pelayanan
juga dipersiapkan dengan sangat baik seperti perekrutan para petugas LRT yang
didominasi oleh anak-anak muda generasi milenial.
Seperti di kutip dari laman
lrtjakarta.co.id bahwa posisi staf operasional seperti Masinis, staf OCC (Operation Control Center), staf
Perawatan Prasarana dan staf Perawatan Sarana (rollingstock) mayoritas direkrut lulusan yang fresh graduate dari STTD (Sekolah Tinggi Transportasi Darat) dan
API (Akademi Perkeretaapian Indonesia).
Setelah menempuh proses pendidikan
perkeretaapian kemudian diikutkan diklat dan uji sertifikasi kecakapan. Sedangkan
untuk non teknis direkrut dari lulusan perguruan tinggi lain menyesuaikan
dengan kebutuhan, misalnya jurusan pariwisata.
Dengan integritas yang tinggi,
LRT Jakarta diharapkan mampu menjadi salah satu moda transportasi umum massal
yang terpercaya bagi masyarakat Jakarta.
Tantangan
besar yang dihadapi kota metropolitan Jakarta yang begitu padat mobilitasnya
adalah kemacetan. Tentu banyak faktor yang meyebabkan kemacetan di Jakarta yang
begitu menyita waktu, tenaga, dan pikiran selain berdampak pada kerugian yang
besar.
Liputan Kompas tanggal 04 Juni 2018 menyebutkan bahwa Jakarta dinobatkan
sebagai kota dunia dengan lalu lintas terburuk dalam satu indeks berdasarkan
data navigasi satelit, yang menemukan pengemudi rata-rata mulai dan berhenti
lebih dari 33.000 kali dalam setahun.
Dengan demikian diperkirakan 70% polusi
udara kota disebabkan berasal dari kendaraan. Laporan Statistik Transportasi
DKI Jakarta 2018 menunjukan bahwa pertumbuhan kendaraan bermotor selama lima
tahun terakhir mencapai 5,35 persen per tahun.
Jika dirinci menurut jenis
kendaraan, mobil penumpang mengalami pertumbuhan tertinggi yaitu sebesar 6,48
persen per tahun. Setelah itu sepeda motor, yang mengalami pertumbuhan sebesar
5,25 persen per tahun dan terakhir mobil bus yang mengalami penurunan sebesar
1,44 persen per tahun.
Ironisnya jumlah angka yang terus mengalami kenaikan
dari tahun ke tahun tidak mempunyai penyeimbang yaitu luas dan lebar jalan yang
kecil yang mengalami pertumbuhan sangat lambat sehingga akumulasi dan penetrasi
kendaraan bermotor mengalami ketimpangan yang berimbas pada kemacetan.
Jumlah Kendaraan Bermotor Yang Terdaftar (Tidak
Termasuk TNI, Polri dan CD) Menurut Jenis Kendaraan, 2012-2016
Jenis Kendaraan
|
2012
|
2013
|
2014
|
2015
|
2016
|
Pertumbuhan per tahun (%)
|
Sepeda Motor
|
10.825.973
|
11.949 280
|
13.084 372
|
13.989.590
|
13.310.672
|
5,30
|
Mobil Penumpang
|
2.742.414
|
3.010.403
|
3.266.009
|
3.469.168
|
3.525.925
|
6,48
|
Mobil Beban
|
561.918
|
619.027
|
673.661
|
706.014
|
689.561
|
5,25
|
Mobil Bus
|
358.895
|
360.223
|
362.066
|
363.483
|
338.730
|
-1,44
|
Ransus
|
129.113
|
133.936
|
137.859
|
139.801
|
141516
|
2,32
|
Jumlah
|
14.618.313
|
16.072.869
|
17.523.967
|
18.668.056
|
18.006.404
|
5,35
|
Sumber: Badan
Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta: Statistik Transportasi DKI Jakarta 2017
Beberapa
upaya pemerintah untuk mengatasi kemacetan Jakarta juga belum sepenuhnya
konsisten dan masih bersifat normatif parsial, tidak sistematis, dan tidak kontinyu.
Misalnya, pemberlakuan sistem ganjil-genap yang hanya berlaku di beberapa titik
di Jakarta seperti jalan MH Thamrin yang mengalami pasang-surut uji coba dan
pro-kontra apakah memperluas wilayah pemberlakuan sistem ganjil-genap atau
mengatur durasi waktu pemberlakuan, jalur 3-in-1, dan sebagainya. Kemudian,
teknis perbaikan jalan yang rusak hanya dilakukan sebagian dengan tambal sulam
lubang dan perbaikan jalan yang tidak tuntas.
Beberapa contoh di atas, meskipun
bisa jadi terlihat sepele namun sangat berdampak pada arus kegiatan masyarakat.
Distribusi dan mobilitas mengalami perlambatan dan akan berdampak pada kegiatan
sosial ekonominya.
Kemacetan
dicirikan, secara teoritik, indikasi arus yang tidak stabil, kecepatan tempuh
kendaraan yang lambat, serta antrian kendaraan yang panjang, yang biasanya
terjadi pada konsentrasi kegiatan sosial-ekonomi atau pada persimpangan
lalu-lintas di pusat-pusat kota.
Sedangkan peningkatan laju pertambahan jalan
(termasuk jalan tol) di Jabodetabek dengan laju pertambahan kendaraan menunjukan
rasio yang tidak sebanding 1:11. Volume yang tidak sebanding inilah yang
menyebabkan akumulasi dan kepadatan lalu-lintas di ibu kota Jakarta menjadi
semakin susah dikendalikan.
Perlu upaya yang cukup serius untuk menangani
situasi demikian. Integrasi moda transportasi umum massal harus berdiri di atas
lutut yang kuat, sitematis dan berkelanjutan. Tanpa integrasi yang kuat dan
bentuk kerja sama yang konsisten rasanya sia-sia saja moda transportasi umum
massal dihadirkan. KRL, MRT, LRT, Transjakarta, dan angkutan umum reguler
(JakLingko) harus dalam satu sistem terpadu untuk memfasilitasi moving people connecting communities yang
begitu cepat dan masif.
Sistem yang terintegrasi dan terpadu bukan hanya
meliputi moda transportasinya saja dengan jarak yang berdekatan namun lebih
dari itu, manajemen pembayaran dan tarif harus dalam desain yang satu sistem. Upaya
tersebut juga harus di tunjang dengan membumikan paradigma baru wajah
transportasi publik Jakarta kepada masyarakat umum sebagai upaya menekan
penggunaan kendaraan pribadi.
Oleh sebab itu membangun sistem transportasi terpadu
dan terintegrasi dengan paradigma baru tidak bisa dibebankan seutuhnya kepada pemerintah,
masyarakat juga harus terlibat aktif dan dengan penuh kesadaran bahwa ini
merupakan tanggung jawab bersama.
Komentar
Posting Komentar