Halo Desember

Gambar
  Baru saja selesai mencicil pekerjaan. Lumayan lega rasanya meskipun masih belum selesai semuanya setidaknya bisa mengurangi. Tentu aku tidak akan menceritakan mengenai pekerjaanku. Tepat, sekarang pukul 00.00 masuk bulan Desember. Detik ini mulai dengan 1 Desember 2021. Sebelum aku menulis kesana kemari, aku hanya ingin mengucap syukur atas apa yang sudah berani aku jalani, terlewati. Ya, meskipun masih terasa sakit rasanya luka ini tapi setidaknya ia mampu bersahabat dengan waktu untuk terus berjalan, melanjutkan hidup. Terima kasih, luka, sudah menemaniku sejauh ini. Terima kasih waktu sudah mengizinkanku untuk merasakannya. Terima kasih untuk diri sendiri meskipun aku tahu perihnya saat ini yang masih harus aku tanggung tapiiiii semua akan berlalu. Mungkin besok saat aku bangun tidur? Atau lusa saat aku pulang ke ruang sepi? Minggu depan? Bulan depan, saat lantunan piano Holy Night mulai sering terdengar? Tahun depan? Tahun depannya lagi? Entahlah, kapanpun itu, silakan atur saja

Integrasi Transportasi Publik di Jakarta


Transportasi menjadi salah satu instrumen penting dalam kemajuan suatu kota. Dengan tata kelola moda transportasi yang baik, moving people connecting communities menjadi semakin efisien dan efektif. 
Sirkulasi perekonomian juga menjadi semakin cepat, hal ini tentu sangat diharapkan oleh masyarakat metropolitan khususnya dan masyarakat yang lebih luas pada umumnya. 
Bukan hanya sirkulasi perekonomian saja yang mengalami perubahan tetapi hampir menyentuh semua aspek sosial, seperti layanan kesehatan dan jasa. Jakarta merupakan kota kosmopolitan yang begitu padat mobilitas manusia, barang, dan jasa haruslah di topang dengan infrastruktur yang kuat guna memberikan ruang gerak yang masif dan cepat.

Meskipun Jakarta sudah memiliki moda transportasi masal seperti Kereta Rel Listrik (KRL), Transjakarta, dan Mass Rapid Transit (MRT) atau Moda Raya Terpadu yang baru saja diresmikan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada tanggal 24 Maret 2019 yang diharapkan mampu untuk mengurangi kemacetan dan memperlancar distribusi perekonomian sesuai dengan Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 84 Tahun 2004 tentang Penetapan Pola Transportasi Makro di Provinsi DKI Jakarta Bab III Pasal 3 poin b dan e, “Memasyarakatkan Sistem Angkutan Umum Massal dan Menambah Jaringan Primer, Busway, dan Subway” Mass Rapid Transit ini merupakan bagian dari strategi pemerintah Jakarta guna mengurai  masalah kemacetan di ibu kota, namun kendala utama yang memperlambat arus mobilitas manusia, barang, dan jasa yakni kemacetan masih menjadi pekerjaan rumah yang perlu dibenahi. 
Total kerugian yang diakibatkan kemacetan di DKI Jakarta, Bogor, Depok, dan Bekasi (Jabodetabek) sebesar Rp 65 Triliun (Kompas, 13 Februari 2019). Sedangkan biaya untuk membangun angkutan umum massal seperti MRT atau Light Rail Transit (LRT) masih lebih murah jika dibandingkan dengan beban kerugian yang ditanggung akibat kemacetan. 
Sebagai informasi, biaya untuk pembangunan MRT Fase I dengan rute Bundaran HI – Lebak Bulus sepanjang 16 km menghabiskan dana Rp. 16 triliun, sedangkan pembangunan LRT Jabodetabek dibangun dengan total biaya Rp. 20,752 triliun untuk rute sepanjang 44,3 km.[1]

Keberadaan kereta layang ringan atau Light Rail Transit (LRT) atau Layanan Rel Terpadu Jakarta menjadi moda transportasi umum massal yang sangat penting dinilai mampu mengurangi kemacetan lalu lintas. Perbandingan MRT dengan LRT adalah pada rangkaiannya. MRT menarik kereta lebih banyak  dan mempunyai daya tampung besar dan LRT mempunyai rangkaian yang lebih pendek dengan kapasitas kecil. Dimensi kereta LRT dengan lebar 2,6 meter dan panjang 16,9 meter hanya bisa menampung sekitar 132 orang per kereta atau 400-an orang dalam satu rangkaian (Kompas, 01 April 2019). 
Dengan penjelasan dimensi tersebut LRT memiliki keunggulan tersendiri, yaitu lebih lincah dalam operasional naik-turun penumpang dan frekuensi melintasnya juga lebih padat. LRT Jakarta memiliki 6 stasiun yang terdiri dari Stasiun Velodrome, Stasiun Equestrian, Stasiun Pulomas, Stasiun Boulevard Selatan, Stasiun Boulevard Utara dan Stasiun Pegangsaan Dua serta 1 Depo Pegangsaan Dua. 
Lintasan yang didesain melayang memberikan dampak yang ramah dan kenyamanan bagi pengguna dan warga sekitaran lintas rel kereta sebab bisa dipastikan anti macet dan tidak menggangu lalu lintas moda transportasi yang lain.



LRT Jakarta dibangun dengan integritas yang tinggi dengan menyediakan fasilitas berstandar internasional. Selain fasilitas dengan standar internasional, pelayanan juga dipersiapkan dengan sangat baik seperti perekrutan para petugas LRT yang didominasi oleh anak-anak muda generasi milenial. 

Seperti di kutip dari laman lrtjakarta.co.id bahwa posisi staf operasional seperti Masinis, staf OCC (Operation Control Center), staf Perawatan Prasarana dan staf Perawatan Sarana (rollingstock) mayoritas direkrut lulusan yang fresh graduate dari STTD (Sekolah Tinggi Transportasi Darat) dan API (Akademi Perkeretaapian Indonesia). 

Setelah menempuh proses pendidikan perkeretaapian kemudian diikutkan diklat dan uji sertifikasi kecakapan. Sedangkan untuk non teknis direkrut dari lulusan perguruan tinggi lain menyesuaikan dengan kebutuhan, misalnya jurusan pariwisata. 

Dengan integritas yang tinggi, LRT Jakarta diharapkan mampu menjadi salah satu moda transportasi umum massal yang terpercaya bagi masyarakat Jakarta.

Tantangan besar yang dihadapi kota metropolitan Jakarta yang begitu padat mobilitasnya adalah kemacetan. Tentu banyak faktor yang meyebabkan kemacetan di Jakarta yang begitu menyita waktu, tenaga, dan pikiran selain berdampak pada kerugian yang besar. 
Liputan Kompas tanggal 04 Juni 2018 menyebutkan bahwa Jakarta dinobatkan sebagai kota dunia dengan lalu lintas terburuk dalam satu indeks berdasarkan data navigasi satelit, yang menemukan pengemudi rata-rata mulai dan berhenti lebih dari 33.000 kali dalam setahun. 
Dengan demikian diperkirakan 70% polusi udara kota disebabkan berasal dari kendaraan. Laporan Statistik Transportasi DKI Jakarta 2018 menunjukan bahwa pertumbuhan kendaraan bermotor selama lima tahun terakhir mencapai 5,35 persen per tahun. 
Jika dirinci menurut jenis kendaraan, mobil penumpang mengalami pertumbuhan tertinggi yaitu sebesar 6,48 persen per tahun. Setelah itu sepeda motor, yang mengalami pertumbuhan sebesar 5,25 persen per tahun dan terakhir mobil bus yang mengalami penurunan sebesar 1,44 persen per tahun. 
Ironisnya jumlah angka yang terus mengalami kenaikan dari tahun ke tahun tidak mempunyai penyeimbang yaitu luas dan lebar jalan yang kecil yang mengalami pertumbuhan sangat lambat sehingga akumulasi dan penetrasi kendaraan bermotor mengalami ketimpangan yang berimbas pada kemacetan.

Jumlah Kendaraan Bermotor Yang Terdaftar (Tidak Termasuk TNI, Polri dan CD) Menurut Jenis Kendaraan, 2012-2016
Jenis Kendaraan
2012
2013
2014
2015
2016
Pertumbuhan per tahun (%)
Sepeda Motor
10.825.973
11.949 280
13.084 372
13.989.590
13.310.672
5,30
Mobil Penumpang
2.742.414
3.010.403
3.266.009
3.469.168
3.525.925
6,48
Mobil Beban
561.918
619.027
673.661
706.014
689.561
5,25
Mobil Bus
358.895
360.223
362.066
363.483
338.730
-1,44
Ransus
129.113
133.936
137.859
139.801
141516
2,32
Jumlah
14.618.313
16.072.869
17.523.967
18.668.056
18.006.404
5,35
Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta: Statistik Transportasi DKI Jakarta 2017

Beberapa upaya pemerintah untuk mengatasi kemacetan Jakarta juga belum sepenuhnya konsisten dan masih bersifat normatif parsial, tidak sistematis, dan tidak kontinyu. Misalnya, pemberlakuan sistem ganjil-genap yang hanya berlaku di beberapa titik di Jakarta seperti jalan MH Thamrin yang mengalami pasang-surut uji coba dan pro-kontra apakah memperluas wilayah pemberlakuan sistem ganjil-genap atau mengatur durasi waktu pemberlakuan, jalur 3-in-1, dan sebagainya. Kemudian, teknis perbaikan jalan yang rusak hanya dilakukan sebagian dengan tambal sulam lubang dan perbaikan jalan yang tidak tuntas. 
Beberapa contoh di atas, meskipun bisa jadi terlihat sepele namun sangat berdampak pada arus kegiatan masyarakat. Distribusi dan mobilitas mengalami perlambatan dan akan berdampak pada kegiatan sosial ekonominya.
Kemacetan dicirikan, secara teoritik, indikasi arus yang tidak stabil, kecepatan tempuh kendaraan yang lambat, serta antrian kendaraan yang panjang, yang biasanya terjadi pada konsentrasi kegiatan sosial-ekonomi atau pada persimpangan lalu-lintas di pusat-pusat kota. 
Sedangkan peningkatan laju pertambahan jalan (termasuk jalan tol) di Jabodetabek dengan laju pertambahan kendaraan menunjukan rasio yang tidak sebanding 1:11. Volume yang tidak sebanding inilah yang menyebabkan akumulasi dan kepadatan lalu-lintas di ibu kota Jakarta menjadi semakin susah dikendalikan. 
Perlu upaya yang cukup serius untuk menangani situasi demikian. Integrasi moda transportasi umum massal harus berdiri di atas lutut yang kuat, sitematis dan berkelanjutan. Tanpa integrasi yang kuat dan bentuk kerja sama yang konsisten rasanya sia-sia saja moda transportasi umum massal dihadirkan. KRL, MRT, LRT, Transjakarta, dan angkutan umum reguler (JakLingko) harus dalam satu sistem terpadu untuk memfasilitasi moving people connecting communities yang begitu cepat dan masif. 
Sistem yang terintegrasi dan terpadu bukan hanya meliputi moda transportasinya saja dengan jarak yang berdekatan namun lebih dari itu, manajemen pembayaran dan tarif harus dalam desain yang satu sistem. Upaya tersebut juga harus di tunjang dengan membumikan paradigma baru wajah transportasi publik Jakarta kepada masyarakat umum sebagai upaya menekan penggunaan kendaraan pribadi. 
Oleh sebab itu membangun sistem transportasi terpadu dan terintegrasi dengan paradigma baru tidak bisa dibebankan seutuhnya kepada pemerintah, masyarakat juga harus terlibat aktif dan dengan penuh kesadaran bahwa ini merupakan tanggung jawab bersama.


[1] Pernyataan ini disampaikan oleh Menteri Perhubungan Budi Karya Samadi saat membuka Seminar Nasional dengan tema “Advocating and Stakeholder Empowerment on Sustainable Transport Infrastructure Development” yang diselenggarakan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, Jumat (26/4)



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bentuk Kekerasan Atas Nama Agama (Terorisme) dan Upaya Rekonsiliasi

Halo Desember

Seni Memahami: Hermeneutik Schleiermacher dan Dilthey (1)