Halo Desember

Gambar
  Baru saja selesai mencicil pekerjaan. Lumayan lega rasanya meskipun masih belum selesai semuanya setidaknya bisa mengurangi. Tentu aku tidak akan menceritakan mengenai pekerjaanku. Tepat, sekarang pukul 00.00 masuk bulan Desember. Detik ini mulai dengan 1 Desember 2021. Sebelum aku menulis kesana kemari, aku hanya ingin mengucap syukur atas apa yang sudah berani aku jalani, terlewati. Ya, meskipun masih terasa sakit rasanya luka ini tapi setidaknya ia mampu bersahabat dengan waktu untuk terus berjalan, melanjutkan hidup. Terima kasih, luka, sudah menemaniku sejauh ini. Terima kasih waktu sudah mengizinkanku untuk merasakannya. Terima kasih untuk diri sendiri meskipun aku tahu perihnya saat ini yang masih harus aku tanggung tapiiiii semua akan berlalu. Mungkin besok saat aku bangun tidur? Atau lusa saat aku pulang ke ruang sepi? Minggu depan? Bulan depan, saat lantunan piano Holy Night mulai sering terdengar? Tahun depan? Tahun depannya lagi? Entahlah, kapanpun itu, silakan atur saja

Seni Memahami: Hermeneutik Schleiermacher dan Dilthey (1)

Intro
Istilah hermeneutik bukanlah istilah yang kekinian, melainkan sebuah istilah yang sudah lama ada, istilah ini dapat ditelisik sampai peradaban Yunani kuno. Hermenutik atau hermeneuin – dalam bahasa Yunani dan hermeneutics dalam bahasa Inggris diambil dari nama tokoh mitologi Yunani, Hermes, merupakan duta besar bagi para dewa yang bertugas untuk menyampaikan pesan-pesan ilahi kepada manusia. 
Tentu saja, jika dipahami dalam tugas Hermes, bukanlah tugas yang ringan apalagi mudah, malah terlihat rumit. Agar pesan ilahi yang hendak disampaikan kepada manusia diterima utuh dan bulat, Hermes terlebih dahulu harus memahami dan menafsirkan untuk dirinya sendiri. Setelah memahami pesan-pesan itu bagi dirinya, dia baru menerjemahkan, menyatakan, dan menyuratkan  maksud pesan-pesan itu kepada manusia.
Dalam arti terminologisnya, hermeneutik adalah suatu proses yang mengubah suatu situasi ketidaktahuan menjadi mengerti. Usaha untuk beralih dari sesuatu yang relatif gelap  ke sesuatu yang lebih terang. 
Dalam pengertian hermeneuein dapat dipahami sebagai semacam peralihan dari sesuatu yang relatif abstrak dan gelap, yakni pikiran-pikiran, ke dalam bentuk ungkapan-ungkapan yang jelas, yaitu dalam bentuk bahasa. Untuk mengerti sesuatu bukan perkara seperti semudah membalikan telapak tangan, artinya, dalam hal ini banyak yang turut terlibat mempengaruhi proses terjadinya sesuatu. 
Dalam kegiatan manusia untuk mengerti atau membuat interpretasi harus melalui bahasa, tidak mungkin berbuat apapun tanpa menggunakan bahasa. Bahasa yang kita tangkap melalui indra terlebih dahulu harus kita pahami dan kemudian diartikulasikan pemahaman tersebut sebagai pesan kepada orang lain lewat pilihan kata dan rangkaian terjemahan kita. 
Sejak awal kemunculannya, hermeneutika menunjuk pada ilmu interpretasi, khususnya prinsip-prinsip eksegesis tekstual, tetapi bidang hermeneutika telah ditafsirkan (secara kronologisnya) sebagai: (1) teori eksegesis Bibel, (2) metodologi filologi secara umum, (3) ilmu pemahaman linguistik, (4) fondasi metodologis geisteswessenshaften, (5) fenomenologi eksistensi dan pemahaman eksistensial, dan (6) sistem interpretasi, baik recollektif maupun iconoclastic, yang digunakan manusia untuk meraih makna di balik mitos dan simbol.
Artikel ini pada sebagian besar isinya, penulis peroleh dari sumber litaratur sebuah buku Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida karya F. Budi Hardiman dan beberapa artikel dalam bentuk ebook sebagai bahan referensi. Hal ini penulis terapkan karena begitu banyak pemikir-pemikir mencoba menggali ulang makna dan hakikat memahami. Boleh jadi, hal ini pula yang menempatkan hermeneutik mengalami perjalanan sejarah yang begitu panjang. 
Untuk membatasi wilayah diskusi, tentu saja kita tidak akan menelisik semua tokoh-tokoh besar yang menyumbangkan gagasan dan pemikiran terhadap hermeneutik. Pun untuk menegaskan isi artikel ini penulis akan mengambil dua nama tokoh pemikir hermeneutik yang merupakan penyumbang gagasan intelektual hermeneutik cukup berpengaruh: Friedrich Daniel Ernst Schleiermacher (1768-1834) dan Wilhelm Christian Ludwig Dilthey (1833-1911).

Telisik Singkat Latar Intelektual Schleiermacher

Schleiermacher yang lahir pada tanggal 21 November 1768 di Breslau, Silesia yang sekarang merupakan wilayah Polandia dibesarkan oleh orang tuanya dalam tradisi Protestan. Orang tuanya memberikan pendidikan yang baik. Pada tahun 1783 dia mengikuti sekolah pendidikan menengah di Moravian di Niesky. 
Alasan ini adalah selain mengikuti tradisi keluarganya, dan motivasi yang sangat kuat untuk mencari pengalaman iman yang mendalam dalam hidup Kristen. Tampaknya dia sudah menunjukan bakat yang khusus sebagai pengkotbah sejak dini. 
Tahun 1785 dia dikirim ke sebuah seminari di Barby dan melanjutkan studi teologi. Di sana pendiriannya mulai bimbang setelah berkenalan dengan literatur ilmiah, filsafat dan juga roman-roman non-religius, diantaranya karya Goethe. Dia dikenal sebagai mahasiswa yang tekun dan pandai. 
Di bawah bimbingan Johann August Eberhard, dia mempelajari filsafat Kant melalui tulisannya yang berjudul Kritik atas Akal Budi Murni dan mengevaluasinya. Pergaulan hidupnya dengan banyak tokoh kalangan cendekiawan dan sastrawan Romantik memberikan sumbangan besar dalam filsafat hermeneutiknya. 
Schleiermacher tidak membuat hermeneutikanya dari suatu kevakuman. Karyanya harus dilihat dalam skema latar belakang perkembangan diri dan zamannya. Hermeneutika Schleiermacher harus dilihat sebagai bagian dari pergerakan romantik awal, 1795 – 1810, yang merevolusi kehidupan intelektual di pusat Eropa. Pandangannya yang sangat diperhitungkan dalam filsafat agama dapat dikembalikan pada pengaruh aliran ini.
Pada masa itu Schleiermacher hidup ketika monopoli kognisi, estetika, dan etika gereja yang begitu pervasive dalam kehidupan sehari-hari menunjukan pendarnya mulai sayup. Pada masa ini, Immanuel Kant muncul menyempitkan agama pada moralitas, mempertanyakan daya jangkau kognitif akal budi terhadap ‘yang transenden’ dan Hegel yang menyaring agama menjadi rasionalitas belaka dan kemudian melahirkan aliran romantisme. Pada masa inilah sistem-sistem kritisisme, protestantisme, dan romantisisme membentuk latar hermeneutika Schleiermacher.
Sumbangsih Kant melalui pemilahan antara fenomena yang penuh aturan dan noumena yang bebas-unik-batiniah inilah yang membangun kritisisme Imanuel Kant. Schleiermacher memakai pemahaman ini untuk melihat teks sebagai fenomena berupa aturan-aturan sintaksis komunitas bahasa si pengarang yang supra individual dan noumena berupa muatan batin individual pengarang yang ingin diungkapkan.
Dekonstruksi terhadap dogmatisasi penafsir teks suci oleh kalangan magisterium gereja sehingga penafsiran teks menjadi monopoli kalangan elit tertentu gereja saja dan inilah yang melahirkan gerakan protestantisme. Titik tolak inilah yang mengembangkan pemikiran Schleiermacher tentang pemahaman sebagai seni yang menekankan kebebasan individu penafsir dari segala dogmatisme tafsir untuk secara intuitif menangkap makna batiniah teks asli.
Sumbangan romantisisme bagi hermeneutik Schleiermacher adalah hermeneutika sebagai upaya pemahaman teks, bukan sebagai objek intelektual dengan memetakan aturan-aturan sintaksis semata, melainkan sebagai upaya memperoleh kembali yang subjektif-individual  dari balik teks tersebut dengan kebebasan imajinasi intuisi. 
Tentu saja hal ini bertolak dari romantisisme Kant dalam hal tekanan pada kehendak bebas dan doktrin bahwa realitas semesta pada dasarnya spiritual dengan alam sendiri merupakan cermin dari jiwa manusia. Pengetahuan tentang semesta spiritual tidak dapat diperoleh lewat cara-cara analitik rasional, tetapi hanya dengan keterlibatan—ketertenggelaman emosional dan intuitif dalam suatu proses.

Hermeneutik Schleiermacher

          Menurut Schleiermacher, hermeneutika merupakan kecakapan atau seni memahami (the art of understanding)  dalam bahasa Jerman, yaitu Verstehen. Pemahaman mengacu pada hasil, yaitu sesuatu yang telah ditangkap sedangkan memahami mengacu pada proses, yaitu kegiatan menangkap, maka pemakaian kata kerja akan lebih mewakili untuk melukiskan dinamika itu daripada pemakaian kata benda. Istilah memahami (Verstehen) dalam hermeneutika mengacu pada proses menangkap makna dalam bahasa atau, dikatakan lebih luas, yang menjadi target pemahaman adalah struktur-struktur simbol atau teks.
        Menurut Schleiermacher, ada jurang pemisah antara berbicara atau berpikir yang sifatnya internal dengan ucapan aktual. Pengadaptasian artikulasi buah pikiran harus dimiliki seseorang kedalam lagak ragam dan tata bahasa. Maka kiranya kita perlu membedakan dua hal, yaitu antara “memahami apa yang dikatakan dalam konteks bahasa dengan kemungkinan-kemungkinannya” dan “memahami sebagai sebuah fakta di dalam pemikiran si penuturnya”. 

Setiap penutur mempunyai waktu dan tempat, dan bahasa yang dimodifikasi atau diartikulasikan menurut kedua hal tersebut. Kedua hal tersebut mengalami kesenjangan satu dengan yang lain. Kesenjangan ini yang kemudian melahirkan kesalahpahaman, maka dibutuhkan suatu proses pemahaman sebagai upaya mengatasi kesenjangan.
           Dengan demikian filsafat hermeneutik Schleiermacher mengambil titk tolak bukan atas kesepahaman, melainkan sebaliknya, berangkat dari kesalahpahaman. 

Dalam masyarakat modern hal seperti ini begitu mudah ditemukan dengan ditandai kemajemukan cara-cara hidup. Dari sinilah hermeneutik kemudian bisa disebut sebuah “seni” atau bisa disebut juga “kecakapan” dengan bertolak dari keadaan tanpa pemahaman bersama atau bahkan kesalahpahaman umum, sehingga untuk dapat menemukan maknanya yang asli dibutuhkan proses berpikir yang rumit dan tidak dengan begitu spontan. 

Fokus hermeneutik Schleiermacher adalah pada cara mengatasi sebuah kesenjangan ruang dan waktu antara teks, penulis, dan pembaca dengan tujuan menemukan maksud asli penulis teks itu tanpa prasangka. Kesenjangan antara kata dan pikiran diatasi dengan upaya rasional yang disebut “interpretasi”.

Pendekatan interpretasi gramatikal dan interpretasi psikologis

Menurut Schleiermacher, ada dua tugas hermeneutika yang pada hakikatnya identik satu sama lain, yaitu interpretasi gramatikal dan interpretasi psikologis. 
Kedua hal ini dilakukan sebagai upaya untuk menangkap dunia mental yang tercermin di dalam teks dengan cara transposisi dengan situasi penulis. 
Hermeneutika Schleiermacher pada intinya meyakini bahwa tidak ada pemahaman berjarak (understanding at a distance). Pemahaman artinya memiliki keterlibatan internal dengan apa yang dipahami. 
Schleiermacher memberi penekanan bahwa distingsi-distingsi, temasuk pendekatan gramatikal dan psikologis, ini tidak boleh dipertentangkan, justru harus diterapkan sekaligus untuk memahami suatu teks, sebab semua saling berkelindan, melengkapi dan memerlukan. 
Sebagai contoh untuk memudahkan, kita mengambil sebuah buku yang memberikan pengaruh begitu kuat terhadap pandangan kaum wanita modern Indonesia, yaitu Door Duisternis Tot Licht (1911), buku ini lebih merupakan kumpulan teks korespondensi Raden Ajeng Kartini yang diterbitkan oleh salah satu rekan korespondensinya sendiri, J.H. Abendanon, yang kemudian sekarang kita lebih mengenal buku tersebut dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang. 
Jika sekarang kita membaca buku ini, tentu saja akan dikagetkan dengan kegagapan struktur bangunan kalimat dan bahasanya. Jelas saja terjadi kesenjangan waktu antara pembaca dan penulisnya, konteks kebudayaan, dan terutama pengalaman-pengalaman subjektifnya. 
Dengan demikian pembaca tidak dengan mudah untuk dapat menangkap dan masuk kedalam “dunia mental” penulisnya. Kemudian bagaimana proses memahami makna berlangsung?
Interpretasi gramatikal adalah penafsiran yang didasarkan pada analisis bahasa. Dari Schleiermacher kita mendapatkan sebuah gambaran bahwa proses heremenutis sebagai pembalikan dari proses penulisan teks. Sementara penulis bertransposisi dari pikirannya ke ungkapannya dalam struktur bangunan kalimat-kalimat, pembaca melakukan sebaliknya. 
Dengan demikian pembaca akan masuk dan terlibat ke dunia mental penulisnya. Sebagai gambaran, ambilah buku karya Pramoedya Ananta Toer yang berjudul Panggil Aku Kartini Saja
Pada buku ini Pram mentransposisikan dirinya sebagai Kartini. Pram bukan hanya menggunakan pendekatan interpretas gramatikal, namun sekaligus menggunakan pendekatan interpretasi psikologisnya, mengatasi semua kesenjangan atas teks-teks Kartini, sehingga Pram melahirkan interpretasi – bahkan melampaui penulisnya, Kartini.
Bagi Schleiermacher, ada beberapa kaidah dan prinsip gramatikal yang harus dipegang, yaitu sabagai berikut:
Pertama, the vocabulary and the history of the era of an author relate as the whole from which his writings must be understood as the part, and the whole must, in turn, be understood from the part. Padanan kata (bahasa) dan sejarah era pengarang dipandang sebagai keseluruhan (whole) yang darinya teks-teksnya harus dipahami sebagai bagian (part), dan keseluruhan (whole) pada gilirannya dipahami dari bagian-bagiannya, identik dan berkelindan.
Kedua, everything in a given utterance which requires a more precise determination may only be determined from the language area which is common to the author and his original audience. Segala hal yang ada dalam ungkapan tertentu yang menuntut penentuan [makna] yang lebih tepat hanya dapat ditetapkan melalui bidang bahasa yang telah diketahui oleh pengarang dan audiens orisinal.
Ketiga, the sense of every word in a given location must be determined according to its being together with those that surround it. Makna setiap kata pada tempat tertentu sesuai dengan kebersamaannya dengan kata-kata lain yang berada di sekitarnya.
Sedangkan pendekatan interpretasi psikologi, dimana seorang penafsir yang bertujuan untuk memahami dunia mental penulisnya tidak bisa semata-mata membangun perhatian dari aspek bahasa saja, namun harus memperhatikan aspek kejiwaannya pengarang, merancang kembali pengalaman dunia mental atas teks. 
Pembaca seperti mengalami kembali pengalaman penulis. Dengan demikian penafsir bertransposisi ke dalam hidup batin pengarang. Pram dalam Panggil Aku Kartini Saja, menggunakan subjektifitasnya dalam upaya membaca pribadi khas penulis dan secara objektif manangkap situasi lingkungan di luar penulis.

***



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bentuk Kekerasan Atas Nama Agama (Terorisme) dan Upaya Rekonsiliasi

Halo Desember