Hermeneutik
Schleiermacher
Menurut Schleiermacher, hermeneutika merupakan kecakapan atau seni memahami (the art of understanding)
dalam bahasa Jerman, yaitu Verstehen.
Pemahaman mengacu pada hasil, yaitu sesuatu yang telah ditangkap sedangkan
memahami mengacu pada proses, yaitu kegiatan menangkap, maka pemakaian kata
kerja akan lebih mewakili untuk melukiskan dinamika itu daripada pemakaian kata
benda. Istilah memahami (Verstehen)
dalam hermeneutika mengacu pada proses menangkap makna dalam bahasa atau,
dikatakan lebih luas, yang menjadi target pemahaman adalah struktur-struktur
simbol atau teks.
Menurut
Schleiermacher, ada jurang pemisah antara berbicara atau berpikir yang sifatnya
internal dengan ucapan aktual. Pengadaptasian artikulasi buah pikiran harus
dimiliki seseorang kedalam lagak ragam dan tata bahasa. Maka kiranya kita perlu
membedakan dua hal, yaitu antara “memahami apa yang dikatakan dalam konteks
bahasa dengan kemungkinan-kemungkinannya” dan “memahami sebagai sebuah fakta di
dalam pemikiran si penuturnya”.
Setiap penutur mempunyai
waktu dan tempat, dan bahasa yang dimodifikasi atau diartikulasikan menurut
kedua hal tersebut. Kedua hal tersebut mengalami kesenjangan satu dengan yang
lain. Kesenjangan ini yang kemudian melahirkan kesalahpahaman, maka dibutuhkan
suatu proses pemahaman sebagai upaya mengatasi kesenjangan.
Dengan demikian filsafat hermeneutik Schleiermacher
mengambil titk tolak bukan atas kesepahaman, melainkan sebaliknya, berangkat
dari kesalahpahaman.
Dalam masyarakat modern hal seperti ini begitu mudah
ditemukan dengan ditandai kemajemukan cara-cara hidup. Dari sinilah hermeneutik
kemudian bisa disebut sebuah “seni” atau bisa disebut juga “kecakapan” dengan
bertolak dari keadaan tanpa pemahaman bersama atau bahkan kesalahpahaman umum,
sehingga untuk dapat menemukan maknanya yang asli dibutuhkan proses berpikir
yang rumit dan tidak dengan begitu spontan.
Fokus hermeneutik
Schleiermacher adalah pada cara mengatasi sebuah kesenjangan ruang dan waktu
antara teks, penulis, dan pembaca dengan tujuan menemukan maksud asli penulis
teks itu tanpa prasangka. Kesenjangan antara kata dan pikiran diatasi dengan
upaya rasional yang disebut “interpretasi”.
Pendekatan interpretasi
gramatikal dan interpretasi psikologis
Menurut Schleiermacher, ada dua tugas
hermeneutika yang pada hakikatnya identik satu sama lain, yaitu interpretasi
gramatikal dan interpretasi psikologis.
Kedua hal ini dilakukan sebagai upaya
untuk menangkap dunia mental yang tercermin di dalam teks dengan cara transposisi
dengan situasi penulis.
Hermeneutika Schleiermacher pada intinya meyakini bahwa
tidak ada pemahaman berjarak (understanding
at a distance). Pemahaman artinya memiliki keterlibatan internal dengan apa
yang dipahami.
Schleiermacher memberi penekanan bahwa distingsi-distingsi, temasuk pendekatan
gramatikal dan psikologis, ini tidak boleh dipertentangkan, justru harus
diterapkan sekaligus untuk memahami suatu teks, sebab semua saling berkelindan,
melengkapi dan memerlukan.
Sebagai contoh untuk
memudahkan, kita mengambil sebuah buku yang memberikan pengaruh begitu kuat
terhadap pandangan kaum wanita modern Indonesia, yaitu Door Duisternis Tot Licht (1911), buku ini lebih merupakan kumpulan
teks korespondensi Raden Ajeng Kartini yang diterbitkan oleh salah satu rekan
korespondensinya sendiri, J.H. Abendanon, yang kemudian sekarang kita lebih
mengenal buku tersebut dengan judul Habis Gelap
Terbitlah Terang.
Jika sekarang kita membaca buku ini, tentu
saja akan dikagetkan dengan kegagapan struktur bangunan kalimat dan bahasanya. Jelas saja terjadi kesenjangan waktu antara pembaca dan penulisnya, konteks
kebudayaan, dan terutama pengalaman-pengalaman subjektifnya.
Dengan demikian
pembaca tidak dengan mudah untuk dapat menangkap dan masuk kedalam “dunia
mental” penulisnya. Kemudian bagaimana proses memahami makna berlangsung?
Interpretasi gramatikal adalah penafsiran
yang didasarkan pada analisis bahasa. Dari Schleiermacher kita mendapatkan
sebuah gambaran bahwa proses heremenutis sebagai pembalikan dari proses
penulisan teks. Sementara penulis bertransposisi dari pikirannya ke ungkapannya
dalam struktur bangunan kalimat-kalimat, pembaca melakukan sebaliknya.
Dengan demikian
pembaca akan masuk dan terlibat ke dunia mental penulisnya. Sebagai gambaran,
ambilah buku karya Pramoedya Ananta Toer yang berjudul Panggil Aku Kartini Saja.
Pada buku ini Pram mentransposisikan
dirinya sebagai Kartini. Pram bukan hanya menggunakan pendekatan interpretas
gramatikal, namun sekaligus menggunakan pendekatan interpretasi psikologisnya,
mengatasi semua kesenjangan atas teks-teks Kartini, sehingga Pram melahirkan
interpretasi – bahkan melampaui penulisnya, Kartini.
Bagi Schleiermacher, ada beberapa kaidah
dan prinsip gramatikal yang harus dipegang, yaitu sabagai berikut:
Pertama, the vocabulary and the history of the era of an author relate as the
whole from which his writings must be understood as the part, and the whole
must, in turn, be understood from the part. Padanan kata (bahasa) dan
sejarah era pengarang dipandang sebagai keseluruhan (whole) yang darinya teks-teksnya harus dipahami sebagai bagian (part), dan keseluruhan (whole) pada gilirannya dipahami dari
bagian-bagiannya, identik dan berkelindan.
Kedua, everything
in a given utterance which requires a more precise determination may only be
determined from the language area which is common to the author and his
original audience. Segala hal yang ada dalam
ungkapan tertentu yang menuntut penentuan [makna] yang lebih tepat hanya dapat
ditetapkan melalui bidang bahasa yang telah diketahui oleh pengarang dan
audiens orisinal.
Ketiga, the sense of every word in a given location must be determined
according to its being together with those that surround it. Makna setiap kata pada
tempat tertentu sesuai dengan kebersamaannya dengan kata-kata lain yang berada
di sekitarnya.
Sedangkan pendekatan interpretasi
psikologi, dimana seorang penafsir yang bertujuan untuk memahami dunia mental
penulisnya tidak bisa semata-mata membangun perhatian dari aspek bahasa saja,
namun harus memperhatikan aspek kejiwaannya pengarang, merancang kembali
pengalaman dunia mental atas teks.
Pembaca seperti mengalami kembali pengalaman
penulis. Dengan demikian penafsir bertransposisi ke dalam hidup batin pengarang.
Pram dalam Panggil Aku Kartini Saja,
menggunakan subjektifitasnya dalam upaya membaca pribadi khas penulis dan
secara objektif manangkap situasi lingkungan di luar penulis.
Komentar
Posting Komentar