Halo Desember

Gambar
  Baru saja selesai mencicil pekerjaan. Lumayan lega rasanya meskipun masih belum selesai semuanya setidaknya bisa mengurangi. Tentu aku tidak akan menceritakan mengenai pekerjaanku. Tepat, sekarang pukul 00.00 masuk bulan Desember. Detik ini mulai dengan 1 Desember 2021. Sebelum aku menulis kesana kemari, aku hanya ingin mengucap syukur atas apa yang sudah berani aku jalani, terlewati. Ya, meskipun masih terasa sakit rasanya luka ini tapi setidaknya ia mampu bersahabat dengan waktu untuk terus berjalan, melanjutkan hidup. Terima kasih, luka, sudah menemaniku sejauh ini. Terima kasih waktu sudah mengizinkanku untuk merasakannya. Terima kasih untuk diri sendiri meskipun aku tahu perihnya saat ini yang masih harus aku tanggung tapiiiii semua akan berlalu. Mungkin besok saat aku bangun tidur? Atau lusa saat aku pulang ke ruang sepi? Minggu depan? Bulan depan, saat lantunan piano Holy Night mulai sering terdengar? Tahun depan? Tahun depannya lagi? Entahlah, kapanpun itu, silakan atur saja

Penguatan Sistem Siber Sebagai Kebijakan Antisipasi Ancaman Terhadap Keamanan dan Stabilitas Negara


Pendahuluan ini mencoba menyoroti sisi-sisi tertentu aspek pembangunan Indonesia dalam kaitannya dengan upaya pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terhadap keamanan dan stabilitas negara melalui infrastruktur sistem keamanan negara di bidang siber. Perkembangan dunia teknologi semakin maju dan perubahannya tidak bisa dibendung begitu saja. Ramalan Alvin Toffler (1980), dunia kita telah memasuki gelombang ketiga. Demikian juga dengan dunia internet. Gelombang ketiga dari Toffler menandakan bahwa kita telah berada pada era informasi: “Sebuah komunitas global saat manusia begitu mudah menjangkau segala jasa dan informasi tanpa batas dan membangun komunitasnya, berinteraksi bukan berdasarkan jarak geografi, melainkan karena kesamaan minat[1].” Steve Case (2016), pendiri America Online (AOL), adalah salah satu yang terpengaruh tulisan Toffler. Ia membagi dunia internet yang tengah kita jalani ke dalam tiga gelombang[2]:

            Gelombang pertama (1985 – 1999) – From Zero to One. Terinspirasi pemikiran Toffler, para tokoh seperti Jobs, Gates, Case, Moore, Scott McNealy, Groove bergerak dan mengerahkan segala upaya ibarat para pembuka hutan  yang membabat semak belukar untuk mewujudkan konektivitas internet. Sebagai contoh produk yang dihasilkan adalah sebuah perangkat dasar seperti sistem operasi (Windows, Linux, Mac OS) dan perangkat keras (hardware) yang menjadi komponen dasar sebuah komputer.

            Gelombang kedua (2000 – 2015) – Aplikasi dan Komersialisasi. Ini adalah gelombang yang penuh keriaan setelah konektivitas terbentuk. Kemunculan dan semakin kuatnya mesin pencari Google bukan saja mematikan Yellow Pages tetapi juga memperkuat komunitas dunia dalam mengorganisasi realitas, membentuk identitas, mencari teman, kekasih, barang, hiburan, tempat, informasi, dan lain-lain. Selain Google, pada era ini juga marak berkembang media sosial atau jejaring sosial yang berpotensi mengorganisasi diri kita. Tokoh-tokoh pada gelombang ini adalah Mark Zuckerberg, Larry Page, Jack Ma, Kevin Systrom, Chad Hurley, Steve Chang, Jawed Karim, Tim Cook, dan Sergey Brin[3]. Dalam gelombang ini muncul sebuah platform baru dalam komunitasnya, seperti Google, Yahoo, Facebook, Twitter, dan komunitas pasar digital atau yang sekarang kita kenal dengan e-commers atau market-place.

            Gelombang ketiga (2016) – Era Internet of Things. Inilah saatnya internet hidup mandiri dan tidak sekadar menjadi milik perusahaan-perusahaan perintis internet. Internet memungkinkan tercapainya kemajuan dalam bidang kesehatan, pendidikan, transportasi, keagamaan, perdagangan yang lebih sehat, dan masih banyak lagi dan tentu saja internet juga bisa memungkinkan berkembang pesatnya kegiatan-kegiatan negatif seperti kriminalitas, obat-obatan terlarang, perdagangan manusia, dan kejahatan-kejahatan lainnya yang antara lain masuk kategori Deep Net (dark net, hidden web).

            Dalam perkembangan gelombang ketiga yang begitu cepat muncul pula tindakan kejahatan dalam dunia siber. Di tengah pesatnya perkembangan industri digital, Indonesia belum memiliki peraturan mengenai perlindungan data pribadi. Padahal, Rancangan Undang-undang Perlindungan Data Pribadi sudah masuk program legislasi nasional 2015-2019 (Kompas, 19 Juni 2018). Barangkali kita masih ingat skandal Cambridge Analitycal saat Pilpres Amerika Serikat pada 2016. Cambridge Analytical adalah konsultan politik yang digunakan oleh Donald Trump dalam kampanye Pilpres AS. Perusahaan tersebut ditengarai telah mencuri serta menyimpan jutaan data pribadi pengguna Facebook. Perusahaan tersebut mendapatkan data itu dari pihak ketiga, Aleksander Kogan, yang kerap membuat survei dan kuis kepribadian di Facebook.

            Di sini kita melihat bagaimana kebocoran data pada konten media sosial Facebook dengan begitu sistematis diolah dan kemudian disajikan untuk memengaruhi pengguna internet di media sosial. Pengaruhnya bukan hanya opini terhadap publik, tetapi dengan perilaku juga. Contoh kasus tersebut bukan tidak mungkin terjadi juga di Indonesia, sebab pertumbuhan pengguna internet di Indonesia setiap tahun terus-menerus meningkat.

            Hasil survei dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) bekerja sama dengan teknopreneur.com yang dipublikasikan pada 2017 dengan judul Infografis Penetrasi dan Perilaku Pengguna Internet Indonesia, sebanyak 143,26 juta jiwa dari total populasi penduduk Indonesia, 262 juta orang, merupakan pengguna internet[4]. Dengan kata lain, 54,68 % dari penduduk Indonesia, itu artinya lebih dari separuh total jumlah jiwa berpotensi terkena distorsi informasi. Padahal, pemilu di Indonesia menganut asas Langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia (Luber), serta Jujur dan Adil (Jurdil)[5]. 

            Dampak negatif lain dari tindakan distorsi sistem informasi adalah kriminalitas siber atau cyber crime, hate speech, bullying[6], dan yang cukup mencemaskan keamanan dan kestabilitasan negara adalah propaganda tentang isu terorisme yang dilakukan melalui media komunikasi dalam jaringan (online). Kriminilatas dalam dunia siber tidak bisa kita pandang sebelah mata sebab negara bisa dirugikan dalam eskalasi yang cukup tinggi. Selain kerugian secara materi, distorsi dan anomali perkembangan dunia siber ini juga berpotensi mengubah kultur dan kepribadian negara.

Cyber security (keamanan siber) adalah kondisi melindungi informasi dari sebagian besar serangan. Ini dicapai dengan mengidentifikasi risiko-resiko dan membangun pertahanan-pertahanan yang sesuai. Sementara itu, ketahanan siber (resilence), merupakan tindakan atau aksi cepat tanggap untuk mengatasi ancaman atau serangan siber, tidak peduli seberapa baik persiapan pertahanan. Dengan demikian, cyber security mengaitkan perlunya manajemen insiden dan kelangsungan bisnis. Singkatnya, cyber security melindungi kita dari serangan atau ancaman-ancaman sementara cyber resilence (ketahanan siber) memastikan kelangsungan hidup setelah serangan[1].

            Pada intinya, cyber security mengakui bahwa ada kesempatan atau kemungkinan-kemungkinan yang terbatas di mana suatu serangan dapat memperoleh akses ke informasi kita. Hal ini dapat secara luas dibagi menjadi fisik, seluler dan digital. Untuk melindungi informasi, kita perlu memastikan bahwa setiap akses untuk kemungkinan-kemungkinan tersebut diblokir dari agen-agen yang tidak baik. Cyber security adalah praktik melindungi sistem, jaringan, dan program dari serangan digital. Serangan-serangan ini biasanya ditujukan untuk mengakses, mengubah, atau menghancurkan informasi sensitif; memeras uang dari pengguna; atau mengganggu proses bisnis normal. Penerapan langkah-langkah keamanan dunia maya yang efektif sangat menantang untuk saat ini karena lebih banyak perangkatnya daripada orangnya, dan penyerang menjadi lebih inovatif. Pendekatan cyber security yang sukses memiliki banyak lapisan perlindungan yang tersebar di seluruh komputer, jaringan, program, atau data yang mana seseorang berniat untuk mengamankannya. Dalam suatu organisasi, orang-orang, proses, dan teknologi harus saling melengkapi satu sama lain untuk menciptakan pertahanan efektif dari serangan cyber[2].

Mengapa cyber security penting?

            Di dunia yang serba terhubung saat ini, semua orang mendapat manfaat dari program cyber defense yang maju dan canggih. Pada tingkat individu, serangan atau ancaman cyber security dapat mengakibatkan berbagai macam dampak; pencurian identitas, upaya pemerasan, hingga hilangnya data penting seperti foto keluarga. Setiap orang bergantung pada infrastruktur penting seperti pembangkit listrik, rumah sakit, dan perusahaan jasa keuangan. Mengamankan hal-hal tersebut dan organisasi lainnya sangat penting untuk menjaga agar masyarakat kita tetap berjalan dengan baik. Setiap orang juga mendapat manfaat dari hasil para peneliti cyber threat, seperti tim dari 250 peneliti ancaman di Talos, yang menyelidiki ancaman baru dan yang sedang muncul serta strategi serangan cyber. Mereka mengungkapkan kerentanan baru, mendidik masyarakat tentang pentingnya cyber security – digital literacy, dan memperkuat alat atau media yang bisa menjadi sumber terbuka untuk penelitian. Pekerjaan mereka menjadikan internet lebih aman untuk semua orang[3].

Cyber crime terjadi bermula dari kegiatan hacking yang telah ada lebih dari satu abad. Pada tahun 1870-an, beberapa remaja telah merusak sistem telepon baru negara dengan merubah otoritas. Berikut akan ditunjukan seberapa sibuknya para hacker telah ada selama 35 tahun terakhir. Awal 1960 Fasilitas universitas dengan kerangka utama komputer yang besar, seperti laboratorium kepintaran buatan (artificial intelligence) MIT, menjadi tahap percobaan bagi para hacker. Pada awalnya, kata “hacker” berarti positif untuk seorang yang menguasai komputer yang dapat membuat sebuah program melebihi apa yang dirancang untuk melakukan tugasnya. Awal 1970 John Draper membuat sebuah panggilan telepon jarak jauh secara gratis dengan meniupkan nada yang tepat ke dalam telepon yang memberitahukan kepada sistem telepon agar membuka saluran. Draper menemukan siulan sebagai hadiah gratis dalam sebuah kotak sereal anak-anak. Draper, yang kemudian memperoleh julukan “Captain Crunch” ditangkap berulangkali untuk perusakan telepon pada tahun 1970-an. Pergerakan sosial Yippie memulai majalah YIPL/TAP (Youth International Party Line/Technical Assistance Program) untuk menolong para hacker telepon (disebut “phreaks”) membuat panggilan jarak jauh secara gratis. Dua anggota dari California’s Homebrew Computer Club memulai membuat “blue boxes” alat yang digunakan untuk meng-hack ke dalam sistem telepon. Para anggotanya, yang mengadopsi pegangan “Berkeley Blue” (Steve Jobs) dan “Oak Toebark” (Steve Wozniak), yang selanjutnya mendirikan Apple Computer[1].

Dalam perkembangannya dunia teknologi sebuah data dan informasi menjadi sangat vital dalam kelangsungan pengambilan keputusan. Sebab dari olahan data yang valid sebuah informasi dapat dijadikan sebagai bahan pengambilan keputusan. Karena itu sebuah data menjadi sangat penting untuk dilindungi, data merupakan sebuah privasi yang harus dijaga kerahasaiaannya apalagi sebuah data yang menyangkut hajat hidup orang banyak, data rahasia negara, data keamanan strategi, dan data sebuah rekam medis maupun data akun perbankan. Ancaman dari tindak kejahatan dalam dunia siber sangat sulit untuk dideteksi. Disamping itu selalu ada celah di dalam sistem yang sudah dibangun sehingga memungkinkan sistem dapat dengan mudah diretas oleh pelaku kejahatan siber.

            Saat ini perkembangan dunia siber sangat cepat mengikuti perkembangan teknologi internet. Masing-masing negara menciptakan sistem sendiri yang khusus menangani dunia siber. Masing-masing negara mengatur sendiri, baik regulasi, teknis dan mekanisnya. Hal ini dikarenakan kecenderungan dan prilaku dari pengguna internet dari masing-masing negara berbeda, tentu berbeda pula dalam menentukan aturan yang sesuai dengan prilaku tersebut. Negara harus hadir dalam menciptkan aturan guna mengantispasi bentuk kejahatan yang dapat merugikan orang lain maupun pemerintah dan negara. Aktivitas siber tidak terhenti oleh batas wilayah negara dan waktu, segala transaksi terjadi dalam waktu 1x24 jam dan secara real time.

            Hadirnya negara dalam rangka melindungi warganya dan menjaga kedaulatan negara khususnya di ranah siber adalah dengan membuat regulasi dan pembentukan organisasi pemerintahan (badan) yang bertanggung jawab untuk membidangi siber nasional dan berfungsi menentukan kebijakan keamanan siber nasional dengan peran dan kerja sama antara pemerintah, sektor swasta serta masyarakat.

            Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo pada tanggal 19 Mei 2017 telah menandatangani Peraturan Presiden (Perpes) Nomor 53 tahun 2017 tentang Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN). BSSN merupakan lembaga pemerintah non kementerian yang berada di bawah koordinator Menkopolhukam[1]. Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) merupakan instansi pemerintah Republik Indonesia yang bergerak di bidang Keamanan Informasi dan Keamanan Siber. BSSN dipimpin oleh Kepala Badan yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia.

            Dalam beberapa tahun terakhir Indonesia disibukkan dengan serangan siber yang berbahaya (Kompas, 30 Agustus 2018)[2]. Serangan siber setiap saat mengancam sistem elektronik baik pemerintah maupun swasta. Penyebaran berita bohong “hoax” juga sangat marak bertebaran mewarnai kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Sementara Masyarakat membutuhkan informasi yang valid dan terpercaya untuk berinteraksi secara sosial. Di samping itu, informasi yang tidak benar dan tidak valid ternyata menjadi ancaman secara langsung maupun tidak langsung mengancam ideologi, politik, sosial, budaya, hukum, pertahanan dan keamanan. Negara diharapkan hadir dalam menangani ancaman yang di ranah siber saat ini. Oleh karena itu, kehadiran negara untuk mengintegrasikan secara terpadu pengelolaan ranah siber mutlak diperlukan untuk mencegah ancaman pada aspek-aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Pada aspek perekonomian, peran pemerintah untuk menata kelola ranah siber sebagai tempat kegiatan ekonomi sangat dibutuhkan. Keamanan siber difokuskan untuk memberikan perlindungan dan kenyamanan bagi masyarakat untuk menjalankan roda perekonomian agar tetap tumbuh. Perekonomian digital seperti e-commerce dan e-business jembatan penyangga perekonomian nasional perlu mendapat perlindungan. Pemerintah harus memanfaatkan ranah siber untuk meningkatkan devisa negara, meningkatkan taraf hidup masyarakat, memberikan edukasi dan wawasan kepada masyarakat dalam menghadapi persaingan regional di Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) dan perekonomian global. Isu lain yang cukup mengemuka terkait dengan keamanan ranah siber adalah perlu adanya perlindungan terhadap infrastruktur informasi kritis nasional. Gangguan atau serangan terhadap infrastruktur kritis dapat menyebabkan terganggunya keamanan, keselamatan maupun rusaknya reputasi dan citra negara di mata publik maupun internasional. Ditinjau dari aspek pertahanan dan keamanan, teknologi informasi dan komunikasi menyebabkan perubahan paradigma ancaman yang semula hanya berbentuk ancaman fisik (militer) berkembang dengan adanya bentuk ancaman lain yaitu ancaman multidimensi (nirmiliter), yang saat ini, dalam bahasa siber kita kenal dengan istilah cyber war. Ancaman nirmiliter tidak hanya bidang militer saja melainkan juga sipil. Ketahanan siber bagi masyarakat sipil perlu ditangani secara serius sebagai upaya menuju ketahanan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam aspek ideologi politik, pemerintah perlu segera menjalankan kewenangannya untuk mengelola ranah siber sebagai arena demokrasi rakyat yang sehat dan kondusif (cyber diplomacy dan cyber democracy). Dalam aspek sosial budaya, saat ini peran ranah siber tidak bisa dipandang remeh karena ranah siber merupakan saluran interaksi dan komunikasi yang cepat dan mampu menyentuh individu secara personal. Dengan demikian, ranah siber Indonesia harus menjadi ruang publik yang edukatif dan beretika, berlapis nilai-nilai luhur peningkatan moral bangsa.

Aktivitas siber yang tidak mengenal batas wilayah dan waktu tentu saja membuat negara kesulitan dalam mengatur lalu lintas dan bentuk tanggung jawab apa yang harus dibebankan kepada pelaku kejahatan. Karena sekali lagi ini menyangkut kedaulatan suatu negara. Jenis kejahatan siber pun jika di analogikan dalam dunia nyata maka akan sangat mirip sekali modusnya. Bahkan dalam hal memengaruhi opini publik dalam rangka kepentingan politik pun sudah terjadi, seperti skandal pilpres Amerika Serikat tahun 2016. Cambridge Analitycal adalah sebuah perusahan konsultan politik yang dibayar Trump dalam pemenangannya sebagai presiden terpilih. Dan di Indonesia sendiri meskipun sudah ada instrumen hukum untuk melindungi data pribadi dalam dunia siber[1], namun masih terdapat kelemahan dan celah dalam penerapannya hal ini disebabkan oleh semakin berkembangnya ranah dunia siber yang terus meluas sementara kemampuan untuk mendukung dunia siber yang sehat hampir selalu tertinggal. Ranah dunia siber menjadi begitu komplek dan vital. Sebuah peradaban dunia baru dalam wajah dan tatanan global. Ironisnya, dalam hal ini pemerintah Indonesia membuat regulasi hanya dalam satu platform yang harus bertanggung jawab mengurus tatanan dunia siber, regulasi dalam platform Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo). Sedangkan dunia siber sudah menjadi ranah yang meluas diberbagai entitas, seperti ekonomi, budaya, sosial, dan entitas yang lain. Tentu saja jika dipahami lebih dalam, ekonomi digital yang mempunyai perkembangan tersendiri seperti market place, e-commerce, e-dagang, dan platform lain yang berada pada perkembangan ekonomi digital tentu bukan menjadi otoritas dari Kementerian Komunikasi dan Informasi dalam merumuskan regulalsi terhadap proses bisnisnya yang berjalan. Segala bentuk potensi dalam ekonomi digital yang dihadapi dalam entitas perekonimian selayaknya menjadi wewenang pemerintah dalam bidang ekonomi.

            Isu terorisme dalam hubungannya terhadap ranah siber juga menjadi tidak relevan jika pada akhirnya dibebankan oleh Kementerian Komunikasi dan Informasi. Sebab kompetensi dalam penanganan terorisme bukan berada pada Kominfo namun lebih tepat kepada Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) walaupun bukan suatu badan kementerian namun dalam tugas dan fungsinya BNPT dikoordinasikan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam). Tentu hal ini juga berlaku dengan bidang yang lain, seperti transportasi dan kesehatan. Dalam perkembangan dunia siber saat ini pada dasarnya setiap entitas sudah memiliki regulasinya tersendiri untuk mengatur jalannya proses yang terjadi. Namun mereka berjalan sendiri-sendiri, sedangkan kompleksitas dunia siber tidak terlepas dari saling keterhubungan, integrasi. Disinilah peran vital dari Kominfo untuk menghadirkan sebuah langkah strategis agar dalam proses integrasi dapat berjalan dengan lancar.


Distorsi dan anomali sebuah sistem informasi menjadi permasalahan yang serius apabila tidak segera ditemukan jalan keluarnya serta berpotensi menimbulkan kegaduhan masyarakat dan ancaman bagi negara. Indonesia merupakan negara demokrasi dimana kebebasan berpendapat dan bersuara menjadi hak setiap warga negara. Namun dalam hal ini negara harus hadir ketika sebuah kebebasan yang diluar batas kewajaran dan mengganggu ketertiban umum tidak bisa dikendalikan lagi, terlebih jika menyangkut dengan kedaulatan negara. Fenomena seperti ini sangat dimungkinkan terjadi di Indonesia dan negara-negara yang secara geografis memiliki kesamaan dengan Indonesia.

            Perbedaan geografis menjadikan penyebaran pembangunan infrastruktur tekonologi menjadi tidak merata dan pada akhirnya penetrasi sistem informasi juga mengalami ketimpangan. Dampaknya adalah keseragaman nilai informasi tidak merata dalam waktu yang sama. Selain faktor pemerataan infrastruktur ada faktor lain yang harus diperhatikan, literasi digital. Literasi digital juga merupakan pendekatan yang tidak boleh diabaikan begitu saja. Sebabnya minat baca Indonesia sangat rendah[1], tentu ini berpotensi terjadi konflik di masyarakat luas karena penyerapan informasi yang berkualitas menjadi bias. Untuk itu literasi digital menjadi sangat penting sebagai upaya dalam mengurangi kemungkinan konflik yang terjadi. Hal-hal itulah yang menjadikan faktor  disparitas sistem informasi dan komunikasi dan teknologi menjadi sebuah eskalasi konflik naik dan tampak begitu nyata. Namun kita juga tidak boleh mengabaikan satu instrumen penting, yaitu regulasi. Aturan dan penerapan yang abu-abu menjadi variabel yang harus segera dibenahi supaya proses yang berlangsung dalam dunia siber dapat berjalan dengan sehat.

Dunia siber yang sehat tidak bisa hanya dijalankan oleh hanya satu aktor saja. Beban tugas dan tanggung jawab harus dilaksanakan oleh semua komponen yang berkepentingan terhadap sistem informasi, komunikasi dan teknologi dalam rangka mencapai tujuan bersama. Bahkan integrasi proses harus melibatkan tidak hanya aktor negara namun adanya entitas lain yang harus turut bersinergi; masyarakat, perusahaan, komunitas dan kelompok masyarakat luas. Alasan yang paling utama adalah bahwa dunia siber tidak mengenal batas wilayah suatu negara, aktivitas dunia siber terjadi dalam waktu 1x24 jam, begitu masif, cepat dan real time. Ini berarti terbukanya modus transnasional secara lebih luas. Dalam laporan yang dipublikasikan oleh Center for Strategic and International Studies (CSIS)[1] di Washington, D.C. tentang signifikan insiden siber sejak bulan Mei 2006 sampai dengan September 2018, terdapat 31 lembar[2] berisi daftar insiden siber yang terjadi di dunia. Ini memberi gambaran bahwa kejahatan di dunia siber begitu luar biasa, mengabaikan kedaulatan dan batas wilayah dari suatu negara dengan tujuan yang beragam.

            Salah satu isu penting yang menjadi perhatian dunia adalah perlindungan data pribadi dan terorisme. Isu ini menjadi penting sebab dalam transaksinya juga menggunakan jaringan internet. Dalam hal perlindungan data, Indonesia belum mempunyai instrumen yang kuat untuk melindungi data pribadi. Pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan pendaftaran Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan Nomor Kartu Keluarga (NKK) pada tanggal 31 Oktober 2017 hingga 28 Februari 2018, sebelumnya seluruh pelanggan baru nomor seluler prabayar di Indonesia wajib mendaftarkan data diri melalui operator, ada sejumlah data yang harus diisikan, seperti nama, alamat, nomor KTP hingga tanggal lahir. Namun data yang terdaftar tidak tersambung dengan data kependudukan pemerintah di Direktoral Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil), Kementerian Dalam Negeri. Akibatnya adalah muncul berbagai bentuk tindak kejahatan melalui pesan singkat atau SMS karena ketidakjelasan identitas pemegang nomor. Menurut Menkominfo Rudiantara, kebijakan ini sudah ada sejak tahun 2005 namun belum efektif karena ekosistemnya belum terbentuk[3].  Walaupun sekarang sudah diberlakukan kebijakan baru tersebut, namun ini menjadi polemik dan pertanyaan yang serius tentang bagaimana jaminan pemerintah dan operator terhadap keamanan data pelanggan. Hal ini juga ditanggapi oleh Sinta Dewi Rosadi[4], bahwa sebenarnya ada prasayarat yang belum dipenuhi. Indonesia harus memiliki Undang-Undang Data Pribadi. Ironinya bahwa Indonesia merupakan salah satu negara perdagangan online terbesar dan populasi telepon seluler yang tinggi[5].

            Mengapa ini menjadi penting untuk diperhatikan? Cakupan data pribadi bukan hanya data yang tertulis pada dokumen identitas pribadi yang diterbitkan oleh Dukcapil. Namun sebuah definisi yang luas dari data pribadi dan sensitif, termasuk identitas dalam jaringan (daring). European General Data Protection Regulation (GDPR) membagi kelompok data pribadi sebagai berikut:

1.       Cookies
Cookie adalah serangkaian teks yang disimpan pada komputer oleh situs web yang  kita kunjungi. Pada umumnya cookie menyimpan pengaturan atau preferensi kita untuk suatu situs web tertentu, misalnya bahasa yang dipilih, atau lokasi (negara) kita. Ketika kita kembali ke situs web tersebut, search engine (Google, Yahoo, Mozila Firefox) akan mengirimkan cookie yang bersesuaian kepada situs web yang bersangkutan. Dengan cara ini, situs dapat menampilkan informasi yang sesuai dengan pengaturan atau preferensi kita.
            Cookie dapat menyimpan berbagai jenis informasi, termasuk di antaranya informasi pribadi seperti nama, alamat rumah, alamat email, atau nomor telepon kita. Akan tetapi informasi ini hanya akan disimpan jika kita pernah memberikan informasi ini kepada situs tersebut. Situs web tidak dapat mengakses informasi yang tidak pernah kita berikan kepada situs web tersebut, dan situs web juga tidak dapat mengakses berkas lainnya pada komputer kita[1].

2.       IP Address
Internet Protocol  atau sering disebut “IP” merupakan identifikasi unik yang dimiliki oleh setiap komputer dan perangkat lainnya yang terhubung dalam jaringan komputer. Unik artinya alamat setiap komputer atau perangkat hanya dimiliki oleh satu perangkat komputer dan tidak ada yang sama.

3.       Health[2]
Variabel ini tidak boleh diabaikan begitu saja. Sebab riwayat kesehatan harus bisa dijamin kerahasiaannya oleh pihak rumah sakit atau semua elemen yang berada pada instansi kesehatan. Bahkan ada kode etik yang harus dipatuhi oleh elemen yang terkait dalam bidang kesehatan.

4.       Biometric[3]
Teknologi biometrik menjadi dasar dari sebuah kesatuan yang luas dari identifikasi keamanan yang tinggi dan solusi dari verifikasi personal.

5.       Genetic
DNA manusia bisa menjadi wadah penyimpanan informasi digital dalam ruang yang sangat kecil. Popular Science mewartakan, hasil eksperimen tim peneliti yang diperlihatkan pada pertemuan tahunan American Chemical Society itu mengungkap bahwa penyimpanan di dalam DNA bisa bertahan hingga 2.000 tahun tanpa alami kerusakan[4].

Karena begitu penting dan sensitifnya sebuah data pribadi, maka dari itu diperlukan sebuah sistem yang mampu menjamin kerahasiaan data pribadi. Indonesia melalui BSSN mengambil inisiatif untuk lebih serius menanggapi isu keamanan siber dengan melakukan kerja sama di berbagai elemen dan kerja sama bilateral dengan beberapa negara Eropa seperti Inggris Raya[1] dan Belanda[2] dan negara tetangga seperti Australia. Tidak hanya sampai disitu, dalam Shangri-la Dialogue yang diadakan oleh International Institute for Strategic Studies pada tanggal 1–3 Juli 2018 di Singapura, Indonesia melakukan diplomasi siber BSSN di kawasan Indo-Pasifik. Dalam kesempatan itu seperti keterangan yang dimuat situs www.bssn.g.id, Kepala BSSN berkesempatan bertemu Kepala Cyber Secutity Agency (CSA) Singapura untuk menjajaki kemungkinan kerja sama di bidang keamanan siber sekaligus bertukar informasi terkait kegiatan, kebijakan, tugas pokok, dan fungsi masing-masing. Ini merupakan visi BSSN: “Membangun dan menjaga keamanan siber nasional dengan mensinergikan berbagai pemangku kepentingan untuk ikut serta mewujudkan keamanan nasional dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional.”

            Langkah pemerintah Indonesia untuk membuka kerja sama dengan beberapa negara Eropa harus diapresiasi, sebab Uni Eropa mempunyai sistem keamanan data pribadi yang maju. General Data Protection Regulation (GDPR) pada tanggal 25 Mei 2018 disahkan oleh parlemen Eropa. GDPR secara detail mengatur kewajiban perusahaan atau organisasi yang memanfaatkan data digital warga Uni Eropa. GDPR memberikan perlindungan ekstra ketat atas keselamatan dan kerahasiaan data pribadi warga Eropa yang dikelola berbagai perusahaan berbasis layanan cloud dan big data. Sasaran GDPR ini bukan hanya perusahaan teknologi seperti Google dan Amazon, melainkan juga seluruh perusahaan yang mengelola data elektronik orang per orang, seperti maskapai penerbangan, hotel, situs e-commerce, distributor otomotif, dan agen properti. (Kompas, 20 Agustus 2018). Detail regulasi GDPR bisa diakses ke situs https://gdpr-info.eu/.

            Tidak hanya isu perlindungan data pribadi yang menjadi pekerjaan berat bersama bagi aktivis dunia siber, namun juga perkembangan terorisme. Modus perkembangan terorisme yang menggunakan pendekatan-pendekatan dunia siber juga tidak bisa dipandang sebelah mata. Ada sebuah modus baru sejak ada media sosial dan internet yang disebut dengan modus lone wolf yaitu mereka yang melakukan radikal sendiri atau self radicalization. Setelah membaca di internet atau di media sosial tentang korban dari konflik-konflik yang terjadi kemudian merasa geram dan membangkitkan kemarahannya. Proses selanjutnya adalah diberikan ayat-ayat (kitab suci)—online indoctrination, yang membuat rangsangan pikiran dan nalar berubah. Kemudian mengikuti pelatihan merakit senjata (bom), cara menyerang, cara memetakan target, dan terkahir beroperasi sendiri, semua itu didapatkan dari kursus online[3].

            PBB menganggap bahwa Indonesia cukup sukses dalam menangani terorisme. Oleh sebab itu Amerika Serikat mengajak kerja sama untuk menangani terorisme global. Rencana kerja sama ini dilakukan saat kunjungan Kapolri Jenderal Tito Karnavian dalam forum diskusi kontraterorisme di PBB di New York (VOA Indonesia, 03/11/2017)[4].

Salah satu komponen pertimbangan penting dalam keamanan dan stabilitas negara adalah data. Sebelum masa internet hadir, komoditas yang sangat penting adalah sumber daya alam, namun kini perubahan terhadap fokus komoditas sudah berubah. Data memainkan peranan penting sebagai entitas vital dalam suatu negara. Oleh sebab itu negara harus hadir untuk membuat suatu ekosistem yang aman untuk menjamin suatu data tersimpan dengan baik. Regulasi yang abu-abu bisa menimbulkan konflik yang berujung pada ancaman terhadap keamanan dan stabilitas negara. Kelemahan suatu sistem teknologi informasi dan komunikasi dapat dengan mudah diretas dan kemudian jika para peretas sudah mendapatkan big data maka akan dengan mudah untuk memetakan suatu pola kejahatan.

            Pemerataan infrastruktur pembangunan sistem teknologi informasi dan komunikasi dan litearsi digital juga menjadi variabel yang penting agar eskalasi disparitas tidak terlalu tinggi. Ini juga merupakan upaya dalam menciptakan ekosistem siber menjadi aman. Modus kejahatan siber menjadi bervariatif, oleh karenanya diperlukan kesadaran diri untuk saling bekerja sama terintegrasi terhadap semua perangkat di ranah siber untuk menekan angka kejahatan siber baik dalam skala nasional maupun transnasional.



[1] Pemerintah Indonesia menjalin kerja sama dengan Pemerintah Inggris Raya dalam bidang keamanan siber (cyber security). Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding) kerja sama tersebut ditkitatangani pada 14 Agustus 2018 di Kantor Kementerian Luar Negeri, Jakarta Pusat. Pihak Indonesia diwakili oleh Kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Dr. Djoko Setiadi, M.Si., sedangkan pihak Inggris Raya diwakili oleh Menteri Muda Urusan Asia dan Pasifik Kementerian Luar Negeri Inggris Raya, The Rt. Hon. Mark Field, MP. Sumber: www.bssn.go.id.
[2] Letter of Intent di bidang siber oleh Kepala BSSN dan Menteri Luar Negeri Belkita pada hari ini, 3 Juli 2018 di Kementerian Luar Negeri Republik. Sumber: www.bssn.go.id.
[3] Disampaikan oleh Kapolri Jenderal Tito Karnavian di Amerika Serikat saat wawancara dengan wartawan VOA Indonesia, Alan Burhanan pada awal November 2017. Kapolri Jenderal Tito Karnavian berada di Amerika untuk menghadiri forum diskusi kontraterorisme di PBB di New York. Indonesia menjadi panelis utama karena dianggap cukup sukses dalam menangani terorisme.
[4] Amerika Serikat melalui Direktur FBI, Christopher Asher Wray.



[1] https://support.mozilla.org/id/kb/Tentang_Cookie di akses pada tanggal 01 Oktober 2018 pukul 07.25 wib.
[2] Riwayat kesehatan atau sering kita pahami sebagai rekam medis merupakan berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lainyang telah diberikan kepada pasien. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 269/Menkes/Per/III/2008 tentang Rekam Medis.
[3] https://searchsecurity.techtarget.com/definition/biometrics mendefinisikan “Biometrics is the measurement and statistical analysis of people's unique physical and behavioral characteristics. The technology is mainly used for identification and access control, or for identifying individuals who are under surveillance. The basic premise of biometric authentication is that every person can be accurately identified by his or her intrinsic physical or behavioral traits”.
[4] Pernyataan ini penulis peroleh dari https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20150818133843-199-72866/dna-manusia-bisa-simpan-data-digital di akses tanggal 01 Oktober 2018 pukul 09.29 wib.




[1] Significant Cyber Incidents – Center for Strategic and International Studies (CSIS), di akses pada tanggal 24 September 2018 pukul 11.00 wib.
[2] Per lembar rata-rata 11 kasus tindakan kejahatan siber dari berbagai dunia.
[3] Ekosistem yang dimaksud adalah adanya perubahan sistem dari KTP konvensional menjadi E-KTP untuk membentuk suatu sistem pelayanan yang saling terintegrasi.
[4] Sinta Dewi Rosadi dari Cyber Law Center, Fakultas Hukum Universitas Padjajaran dalam diskusi "Regulasi Seluler: Wajib Registrasi, Perlindungan Tak Pasti" yang diadakan Combine Resource
Institution (CRI) di Yoyakarta Sabtu (28/10). Informasi ini penulis akses dari https://www.voaindonesia.com/a/indonesia-butuhkan-uu-perlindungan-data-pribadi/4091093.html pada tanggal 26 September 2018 pukul 11.30 wib.
[5] Infografis Penetrasi dan Perilaku Pengguna Internet Indonesia (Survey 2017) dari  Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) yang bekerja sama dengan www.teknopreneur.com, penetrasi pengguna internet menunjukan bahwa 143,26 juta jiwa dari total populasi penduduk Indonesia 262 juta jiwa.



[1] http://www.dpr.go.id/berita/detail/id/19427/t/javascript; Minat Baca dan Literasi Indonesia Sangat Rendah. “Berdasarkan data Central Connecticut University tahun 2016, Indonesia berada pada peringkat 60 dari 61 negara. Sementara,  kajian Perpusnas tahun 2016 menunjukkan bahwa tingkat budaya baca masyarakat pada kategori rendah dengan rata-rata 26,7”. Di akses tanggal 30 September 2018 pukul 15.37 wib.


[1] a. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik.
b. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2017 Tentang Peta Jalan Sistem Perdangan Nasional Berbasis Elektronik (Road Map E-Commerce) Tahun 2017-2019.
c. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informasi Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2018 Tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik Bidang Komunikasi dan Informatika.



[1] https://bssn.go.id/sejarah-pembentukan-bssn/ di akses pada tanggal 28 September 2018 pukul 14.00 wib. BSSN bukan merupakan lembaga baru yang dibentuk, namun merupakan penguatan dari lembaga yang telah ada sebelumya, yaitu Lemsaneg dan Direktorat Keamanan Informasi, Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika, Kementerian Komunikasi dan Informatika. Dengan dibentuknya BSSN, maka pelaksanaan seluruh tugas dan fungsi di bidang Persandian serta pelaksanaan seluruh tugas dan fungsi di bidang keamanan informasi, pengamanan pemanfaatan jaringan telekomunikasi berbasis protokol internet, dan keamanan jaringan dan infrastruktur telekomunikasi dilaksanakan oleh BSSN.

[2] Lebih dari dua pertiga perusahaan di Indonesia mengalami sekitar 5.000 lebih peringatan ancaman siber setiap hari. Serangan siber ini berdampak pada keuangan seperti hilangnya pelanggan hingga pendapatan perusahaan secara signifikan. Indonesia Security Incident Response Team of Internet Infrastructure (Id-SIRTII) mencatat, sebanyak 205.502.159 serangan siber terjadi di Indonesia pada Januari hingga November 2017 Jumlah tersebut meningkat cukup tajam dibanding tahun lalu. Pada 2016 ID SIRTII mencatat serangan yang terjadi sejumlah 135.672.948. Berdasarkan Studi Asia Pacific Security Capabilities Benchmark Cisco 2018 yang dirilis Rabu (28/8/2018), 67 persen perusahaan menyatakan mereka menerima lebih dari 5.000 peringatan setiap harinya.



[1] Mengenal Sejarah Cybercrime di Dunia – Jurnal Security, https://www.jurnalsecurity.com/mengenal-sejarah-cybercrime-di-dunia, di akses Selasa, 25 September 2018 pukul 14.00 WIB.



[1] IT Governance Green Paper,Cyber Security: A Critical Business Issue, 2015 ,https://www.itgovernance.co.uk/resources/green-papers/cybersecurity--a-critical-business-issue, di akses Selasa, 25 September 2108 pukul 10.00 WIB.
[2] https://www.cisco.com/c/en/us/products/security/what-is-cybersecurity.html di akses Selasa, 25 September 2018 pukul 15.27 WIB.




[1] Alvin Toffler. 1980. The Third Wave. New York: Bantam Books.
[2] Steve Case. 2016. The An Entrepreneur’s Third Vision Of The Future Wave. New York: Shimon & Schuster.
[3] Rhenald Kasali. 2017. Disruption. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
[4] Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII). 2017. Infografis Penetrasi dan Perilaku Pengguna Internet Indonesia. Survei ini bekerja sama dengan www.teknopreneur.com.
[5] Penulis pernah mengajukan informasi ini dalam tugas esai untuk mata kuliah: Analisis Kebijakan Luar Negeri RI dengan judul: “Kerja Sama Indonesia Dengan Pemerintah Inggris Raya Di Bidang Keamanan Siber: Antisipasi Ancaman Keamanan Negara”. Dikumpulkan  tanggal 12 September 2018.
[6] https://www.voaindonesia.com/a/upaya-bunuh-diri-remaja-as-naik-dua-kali-lipat-satu-dekade-terakhir/. Para periset yang meneliti 31 rumah sakit di seluruh Amerika memperoleh temuan, antara tahun 2008-2011, ada 31.000 anak-anak yang dirawat di rumah sakit terkait bunuh diri. Sementara jumlah mereka yang dirawat karena niat atau upaya bunuh diri antara tahun 2012-2015, jumlahnya berlipat gkita menjadi 80.000 kasus.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bentuk Kekerasan Atas Nama Agama (Terorisme) dan Upaya Rekonsiliasi

Halo Desember

Seni Memahami: Hermeneutik Schleiermacher dan Dilthey (1)